www.gitaralfian.co.cc »

Senin, 24 Maret 2008

Musik Dunia

World Music menunjukkan tren yang semakin meriah di belantika musik dunia. Soundtrack film ‘Lord of the Rings’ misalnya, mulai menggunakan jenis musik yang disebut sebagai World Music ini. Penyanyi atau grup musik seperti Sting, Bjorg, dan U2 juga mengakomodasikan World Music dalam karya mereka.

Di Indonesia ada kecenderungan dari beberapa kelompok musik untuk menuju format World Music. Kelompok Kahanan dari Innisisri, Genggong-nya Sawung Jabo, Samba Sunda, Gilang Ramadhan sampai musiknya Oppie Andaresta mulai mengarah ke World Music.


Setidaknya mereka pernah tampil dalam hajatan yang diberi predikat sebagai festival World Music. Ada juga Viky Sianipar yang membuat album Toba Dream dengan kemasan World Music. Unsur musik etnik, antara lain musik tradisi Batak diramunya dengan musik kontemporer.

Istilah World Music sangat lebar pengertiannya dan selalu mengundang perdebatan. Lazimnya musik yang melibatkan unsur bunyi-bunyian atau instrumen dari beragam etnis untuk memainkan musik modern dimasukkan dalam kategori World Music.

Dalam pengertian semacam itu musik Krakatau bisa dimasukkan dalam World Music. Krakatau sendiri tidak mengategorikan diri sebagai World Music. Mereka menyebut diri sebagai karawitan music with the progression sound of modern music-musik karawitan dengan progresi cita suara musik modern.

Di Jakarta, World Music mulai mendapat tempat. Setidaknya sejak Juli 2004 telah terbentuk Indonesian World Music Community (IWC) yang antara lain melibatkan pengusaha dan penikmat kesenian Monang Sianipar dan pemusik Marusya Nainggolan sebagai pengurusnya. Markas IWC di bilangan Manggarai menjadi ajang workshop (lokakarya) dan diskusi tentang World Music. Kumpul-kumpul bagi mereka yang tertarik pada World Music.

Monang Sianipar, pengusaha bisnis kargo, itu melihat potensi Indonesia yang besar untuk urusan World Music. Jika digarap serius, kata Monang, World Music versi Indonesia bisa dijual. Sementara Gilang Ramadhan menunjuk keragaman budaya, berikut kekayaan musik tradisi Indonesia sangat potensial untuk digarap sebagai World Music.

“Indonesia itu bisa dibilang gudangnya World Music. Tiap daerah mempunyai karakteristik musik yang unik. Setiap daerah mempunyai perkusinya masing-masing, dan berbeda-beda cara memainkannnya,” kata Gilang Ramadhan dalam diskusi dan lokakarya musik bertema “World Music Sebagai Alternatif Pendengar dan Bisnis” yang digelar di Viky Sianipar Center, Jakarta, Kamis (4/11) lalu.

ISTILAH World Music mengundang beragam penafsiran. Ada yang menggunakan label tersebut untuk menyebut jenis musik yang berasal dari kultur non-Barat. Biasanya pula, jenis musik itu berasal dari Dunia Ketiga. Ada yang menyederhanakan World Music itu sebagai musik tradisional.

World Music digunakan untuk menyebut musik atau lagu yang disampaikan dengan bahasa non-Inggris. Pokoknya, musik yang tidak sesuai dengan standar musik pop Barat alias Anglo-Western akan dikandangkan dalam World Music.

Ada pula yang mempersempit lagi dengan menyebut World Music sebagai musik pop yang ditulis dengan bahasa non-Inggris. Singkatnya, istilah World Music hanya dijadikan payung untuk segala jenis musik yang tidak sesuai dengan standar musik pop. Istilah tersebut dianggap tidak merujuk pada musik dengan karakter tertentu. Musik apa pun yang terdengar eksotik di telinga mereka yang terbiasa dengan pop Barat disebut World Music.

Sebelum muncul istilah World Music, sempat digunakan beberapa sebutan. Antara lain tersebutlah nama pop internasional namun tidak populer. Kemudian pernah digunakan istilah Tropical, karena kebanyakan World Music datang dari negeri tropis seperti Brasil, Uganda, dan India. Istilah ini dianggap terlalu sempit karena dengan demikian musik dari Bulgaria yang bukan negeri tropis tidak mendapat tempat.

Digunakan pula nama Roots dan kemudian Ethnic. Akan tetapi ini pun dianggap terlalu akademik, selain juga terlalu latah dan membosankan.

Ada kelompok yang menuduh pelabelan musik dengan nama World Music itu merupakan bentuk arogansi dunia Barat yang ingin menempatkan musik dari Dunia Ketiga dalam kotak tersendiri.

Musisi rock asal Amerika Serikat, David Byrne, sempat marah besar dengan pelabelan World Music. Dia membuat tulisan di New York Times dengan judul Why I Hate World Music. Istilah itu dianggapnya sebagai cara untuk memindahkan suatu musik ke dalam wilayah eksotik.

“(World Music) dijadikan label untuk segala sesuatu yang dinyanyikan bukan dalam bahasa Inggris, atau sesuatu yang dianggap tidak pas dengan dunia pop Anglo-Western,” kata Byrne.

Maka, lanjut Byrne, istilah tersebut menciptakan kubu ’kita’ dan ’mereka’.

Ian Anderson, salah seorang praktisi World Music, tidak melihat perkubuan semacam itu. Dia justru melihat terjadinya proses pertukaran budaya dalam World Music. Dalam proses kreatifnya, World Music memungkinkan munculnya dialog antara sound atau cita suara musik tradisional dan modern.

“World Music sangat membantu pemahaman internasional dan mendorong adanya pertukaran kultural. Orang-orang yang berada di dalam satu wadah itu saling mendengarkan musik masing-masing. Pada akhirnya mereka membuat musik yang mengagumkan,” kata Anderson.

Anderson meminta orang untuk menikmati World Music daripada memperdebatkan istilah atau mencurigai konsep pemasaran yang mengibarkan nama World Music itu. “Bergembiralah, ini hanya pengkotakan di toko kaset kok!”

Putumayo, perusahaan rekaman yang khusus menggarap World Music, misalnya, dalam satu album menyuguhkan artis dari berbagai negara yang selama ini tidak tercantum pada pentas musik pop versi Grammy misalnya. Album Music from the Coffee Lands contohnya memuat artis dari Peru, Kolombia, Uganda, Zimbabwe, Kenya, Hawaii, Kosta Rika, sampai Kongo. Mereka masing-masing menampilkan musik yang terasa unik dan eksotik di telinga orang yang terlanjur terpatok seleranya oleh standar musik pop Barat.

Di luar sisi pengenalan antarbudaya itu, Ian Anderson melihat World Music dari sisi pemberdayaan musisi yang selama ini kurang mendapat penghargaan secara ekonomi. Maksudnya, album musik jenis World Music menurut dia mendapat pasar luas. Artinya, musisi dari negeri miskin diuntungkan secara ekonomi. Hal tersebut, menurut Anderson, tidak terjadi dalam dua dekade lalu.

Album produksi Putumayo, misalnya, laris dipasarkan di lebih dari 50 negara. Termasuk dalam jumlah itu adalah 20 negara Eropa. Kini Putumayo bahkan membuka divisi Putumayo Kids untuk memperkenalkan anak-anak pada musik dari berbagai belahan negeri. Mereka bahkan menerbitkan CD yang bersisi aktivitas multikultural.

Sejumlah musisi Indonesia-yang kata Gilang merupakan gudang World Music itu-kini sedang bekerja keras untuk berbicara di pentas World Music. Ironis jika seniman musik “mati” di gudang sendiri. (XAR/Kompas.com)