www.gitaralfian.co.cc »

Jumat, 11 April 2008

Tokoh Musik Indonesia

Ismail Marzuki (1914-1958)
Komponis Pejuang Legendaris



Nama:
Ismail Marzuki
Lahir:
Kwitang, Jakarta Pusat, 11 Mei 1914
Meninggal:
25 Mei 1958
Profesi:
Komponis

Karya:
250 lagu, di antaranya: Rayuan Pulau Kelapa yang dicipta tahun 1944, Gugur Bunga (1945), Halo-Halo Bandung (1946), Selendang Sutera (1946), Sepasang Mata Bola (1946), dan Melati di Tapal Batas (1947).

Penghargaan:
Pahlawan Nasional


Komponis pejuang dan maestro musik legendaris ini dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI, dalam rangkaian Hari Pahlawan 10 November 2004 di Istana Negara. Dia dikenal sebagai pejuang dan tokoh seniman pencipta lagu bernuansa perjuangan yang dapat mendorong semangat membela kemerdekaan.

Ismail Marzuki kelahiran kampung Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1914 ini menciptakan sekitar 250 lagu. Karya-karyanya sampai hari ini masih sering terdengar, antara lain Juwita Malam, Sepasang Mata Bola, Selendang Sutera, Sabda Alam, dan Indonesia Pusaka.

Pada tahun 1931, Maing-- sapaan akrab Ismail Marzuki-- memulai menciptakan lagu "O Sarinah'' yang menggambarkan suatu kondisi kehidupan bangsa yang tertindas. Lagu-lagu ciptaannya antara lain Rayuan Pulau Kelapa yang dicipta tahun 1944, Gugur Bunga (1945), Halo-Halo Bandung (1946), Selendang Sutera (1946), Sepasang Mata Bola (1946), dan Melati di Tapal Batas (1947).

Komponis pelopor yang wafat 25 Mei 1958, ini telah melahirkan lagu-lagu kepahlawanan, yang menggugah jiwa nasionalisme. Maestro musik ini menyandang predikat komponis pejuang legendaris Indonesia.

Sejak tahun 1930-an hingga 1950-an, dia menciptakan sekitar dua ratus lima puluh lagu dengan berbagai tema dan jenis aliran musik yang memesona. Hingga saat ini, lagu-lagu karyanya yang abadi masih dikenang dan terus berkumandang di masyarakat. Dalam dunia seni musik Indonesia, kehadiran putra Betawi ini mewarnai sejarah dan dinamika pasang surutnya musik Indonesia.

Sebagai komponis, dia dikenal produktif dan pandai melahirkan karya-karya yang mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat. Dalam bermusik, dia mempunyai kebebasan berekspresi, leluasa bergerak dari satu jenis aliran musik ke jenis aliran musik yang lain. Ia juga punya kemampuan menangkap inspirasi lagunya dengan beragam tema.

Keterpesonaan Ismail Marzuki pada sisi-sisi romantisme masa perjuangan melahirkan lagu-lagu bertema cinta dan perjuangan. Meski lagu-lagu karyanya tampak sederhana, syairnya sangat kuat, melodius, dan punya nilai keabadian.

Lagu-lagunya hingga sekarang masih tetap hidup dan disukai tua dan muda seperti Sepasang Mata Bola, Selendang Sutra, Melati di Tapal Batas, Aryati, Jangan Ditanya ke Mana Aku Pergi, Payung Fantasi, Sabda Alam, Kopral Jono, dan Sersan Mayorku.

Gelar pahlawan nasional dianugerahkan kepadanya bersama lima putra terbaik bangsa lainnya, yakni Maskoen Soemadiredja, Andi Mappanyukki, Raja Ali Haji, KH. Achmad Ri'fai, dan Gatot Mangkoepradja. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan 10 November, di Istana Negara Rabu (10/11/2004).

Ismail Marzuki memang seorang komponis besar yang sampai saat ini boleh jadi belum ada yang dapat menggantikannya. Karena itu, memang sudah layak diberikan penghormatan padanya sebagai pahlawan nasional.

Karya-karya Ismail Marzuki memang kaya, baik soal melodi maupun liriknya. Ia pun mencipta lagu dengan bermacam warna, salah satunya keroncong, di antaranya Bandung Selatan di Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda. ►e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)


Abdullah Totong Mahmud (1)
Maestro Pencipta Lagu Anak-Anak


Nama:
Abdullah Totong Mahmud
Nama Terkenal:
A. T. Mahmud
Lahir:
Palembang. 3 Februari 1930
Agama:
Islam
Pekerjaan:
Pencipta Lagu Anak-anak
Pensiunan Pengawas Kantor Wilayah Depdikbud DKI Jakarta
Isteri:
Mulyani Sumarman (Lahir Sambu. 26 Februari 1934, menikah di Surabaya, 2 Februari 1958)
Anak:
1. Ruri Mahmud, (SE) (L) Jakarta 23 Februari 1959
2. Rika Vitrina, SH (P) Jakarta 1 Oktober 1960
3. Revina Ayu, SE (P) Jakarta 13 April 1974
Ayah:
Masagus Mahmud
Ibu:
Masayu Aisyah

Pendidikan Formal:
HIS/SD 1944
SMU Bag. Pertama (SMP) 1950
SGA 1953
BI Bahasa Inggeris 1959 FKIP Sarjana Muda Diploma 1964

Pendidikan Informal:
The Teaching of English As a Foreign Language (Australia) Des.1961 sd. Des. 1962 PATA (Jakarta) Nov. sd. Desember 1979
SPAFA "Further development Trainor Teachers of the Arts in Schools" (Workshop, Filipina ) Mei 1985

Bidang Karya:
Pencipta lagu anak-anak untuk anak usia Pendidikan Dasar.

Buku Pelajaran Musik:
Anggota tim penulis Buku Musik 1,2,3, dan 4 untuk SPG tahun Proyek 1973/74,1974/75.
Anggota tim penulis Buku Seni Musik untuk PGSMTP Proyek Pembinaan tahun 1982/83.
Anggota tim penulis Buku Seni Musik untuk KPG Proyek Pembinaan KPG/PGSMTP
1982/83.
Penulis Musik dan Anak atas permintaan Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan 1994/95 Direktorat Jenderal Pendidikan Departemen P dan K.

Penghargaan:
Menerima Piagam Hadiah Seni atas Keputusan Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang diserahkan pada tanggal 11 Oktober 1999.
Anugerah Pendidikan Seni oleh Rektor Universitas Negeri Jakarta tanggal 27 Juni 2003 pada Dies Natalis Universitas Negeri Jakarta ke-39.
Merima Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 14 Agustus 2003.

Alamat:
Jalan Tebet Barat llA No.18
Jakarta Selatan 12810
Telepon 021-8296113
Pencipta lagu anak-anak Abdullah Totong Mahmud yang dikenal dengan nama AT Mahmud ini menerima Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah RI. Ia dinilai berjasa dalam mengembangkan dan meningkatkan sumber daya bangsa dalam menciptakan lagu untuk anak-anak yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.

Penerima Piagam hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini memang telah menciptakan sekitar 500 judul lagu anak-anak. Lagu-lagu ciptaannya antara lain Ameia, Cicak, Pelangi, Bintang Kejora, dan Ambilkan Bulan, sangat terkenal dan baik untuk anak-anak. Semua lagu ciptaannya mengandung unsur edukasi yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kecerdasan dan kepribadian anak-anak.

Maka melihat perkembangan lagu anak-anak sekarang ini, ia sangat prihatin. Keprihatinan ini dikemukakannya saat wawancara dengan Wartawan TokohIndonesia DotCom di rumah kediamannya, Jalan Tebet Barat II Jakarta, Senin 8 September 2003.

Menurutnya, banyak sekali lagu yang dinyanyikan anak-anak bukan lagu anak melainkan lagu orang dewasa dengan pikiran dan kemauan orang dewasa. Anak-anak hanya menyanyikan saja. Tanpa pemahaman dan penghayatan akan isi lagu. AT Mahmud mencontohkan dua lagu yaitu “Aku Cinta Rupiah” dan “Mister Bush”.

“Anak kecil mana tahu nilai rupiah atau dolar atau ringgit dan mata uang lainnya. Mereka juga tidak begitu kenal dan hirau dengan George Bush Junior yang melakukan invasi ke Iraq. Mereka belum memikirkan hal itu. Semua itu adalah pikiran dan kemauan orang dewasa yang dipaksa disuarakan anak-anak,” paparnya.

Menurut Mahmud, lagu anak-anak hendaknya mengungkapkan kegembiraan, kasih sayang, dan memiliki nilai pendidikan yang sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis anak. Bahasa dalam lagu anak pun harus menggunakan kosakata yang akrab di telinga anak.

Siapa sebenarnya AT Mahmud? Apakah dia sejak muda mempersiapkan diri menjadi pencipta lagu anak dan melulu mengurusi soal lagu anak?

AT Mahmud lahir di Palembang, Kampung 5 Ulu Kedukan Anyar, 3 Februari 1930. Ia anak kelima dari sepuluh bersaudara. Ibu bernama Masayu Aisyah, ayah bernama Masagus Mahmud. Ia diberi nama Abdullah dan sehari-hari dipanggil “Dola”. Namun, sebutan nama Abdullah atau Dola kemudian “menghilang”. Nama pemberian orang tua tercatat terakhir pada ijazah yang dimilikinya pada sekolah Sjoeritsoe Mizoeho Gakoe-en (sekolah Jepang) tahun 1945. Pada ijazah itu nama lengkapnya tertulis: Mgs (Masagus) Abdu'llah Mahmoed. Di rumah, kampung, dan teman sekolah, ia lebih dikenal dengan nama Totong. Pada surat ijazah Sekolah Menengah Umum Bagian Pertama (setingkat SLTP) tahun 1950, namanya tertulis Totong Machmud. Konon menurut cerita ibunya, ketika dirinya masih bayi ada keluarga Sunda, tetangganya, sering menggendong dan menimangnya sambil berucap, “... tong! ...otong!” Sang Ibu mendengarnya seperti bunyi “totong”. Sejak itu, entah mengapa, ibunya memanggilnya dengan “Totong”. Nama ini diterima di lingkungan keluarga dan kerabat. Nama lengkapnya kemudian menjadi Abdullah Totong Mahmud, disingkat A. T. Mahmud.

Mahmud masuk Sekolah Rakyat (SD) ketika tinggal di Sembilan Ilir. Setahun kemudian, setelah berumur 7 tahun, ia dipindahkan ke Hollandse Indische School (HIS) 24 Ilir. Ada kenangan yang tak dapat dilupakannya kepada guru HIS yang mengajarkan musik, khususnya membaca notasi angka. Cara guru mengajarkannya sangat menarik. Guru memperkenalkan urutan nada do rendah sampai do tinggi dengan kata-kata do-dol-ga-rut-e-nak-ni-an. Kemudian, urutan nada dinyanyikan kebalikannya, dari nada tinggi turun ke nada rendah masih dengan kata-kata kocak e-nak-ni-an-do-dol-ga-rut. Setelah murid menguasai tinggi urutan nada dengan baik, naik dan turun, melalui latihan dengan kata-kata, guru mengganti kata-kata dengan notasi.

Setelah itu, diberikan latihan lanjut membaca notasi angka, seperti menyanyikan bermacam-macam jarak nada (interval), bentuk dan nilai not. Sesudah itu barulah murid-murid diberi nyanyian baru secara lengkap untuk dipelajari. Cara mempelajari nyanyian demikian sungguh menyenangkan.

Pada tahun 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah pada bala tentara Jepang. Saat itu ia duduk di kelas V HIS. Dalam keadaan peralihan kekuasaan pemerintahan itu, ia pindah ke Muaraenim. Di sana, ia dimasukkan ke sekolah eks HIS, yang telah berganti nama menjadi Kanzen Syogakko. Di sinilah ia mulai bermain sandiwara dan mengenal musik. Sandiwara yang pernah ia ikuti adalah ketika sekolah mengadakan pertunjukan pada akhir tahun ajaran bertempat di gedung bioskop. Cerita yang ditampilkan legenda dari Sumatra Barat, berjudul Sabai Nan Aluih dan ia berperan sebagai Mangkutak Alam.

Di kota ini pula ia berkenalan dengan Ishak Mahmuddin, seorang anggota orkes musik Ming yang terkenal di kota Muaraenim. Ming adalah nama pemimpin orkes. Alat yang dikuasai Ishak adalah alat musik tiup saksofon, selain beberapa alat musik lain. Ishak kemudian mengajarinya bermain gitar. Selain itu, Ishak yang pandai mengarang lagu itu turut membimbingnya mengarang lagu. Melihat kemampuan Mahmud yang terus meningkat, Ishak pun mengajaknya bergabung dengan Orkes Ming umtuk memainkan alat musik, dan kadang-kadang ukulele serta bas.
Masa revolusi 1945-1949 membuatnya tidak dapat bersekolah dengan baik. Ia ikut masuk kancah perjuangan dengan menjadi anggota Tentara Pelajar. Selama masa itu, kehidupannya berubah. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lain, bahkan keluar masuk hutan. Syukurlah, ia dapat melewati masa itu dengan selamat, meskipun ada rkan-rekannya yang meninggal.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI, Mahmud pun keluar dari kesatuan Tentara Pelajar. Ia kemudian melanjutkan sekolah dan dinyatakan lulus dari SMU bagian Pertama (SLTP) setelah mengikuti ujian akhir pada tanggal 11-16 Agustus 1950. Ketiadaan biaya membuatnya tidak dapat segera melanjutkan pendidikan. Pamannya, Masagus Alwi mengajaknya bekerja di salah satu bank milik Belanda yang masih beroperasi. Ajakan tersebut diterima. Di tempatnya bekerja, ia dapat melihat langsung keramaian lalu-lintas, lalu-lalang kendaraan, pejalan kaki, juga para siswa membawa buku sekolahnya. Pikiran dan perasaannya mulai gelisah. Ia ingin kembali ke sekolah.

Kebetulan di Palembang sedang dibuka Sekolah Guru bagian A (SGA) yang memberi tunjangan belajar bagi siswanya selama tiga tahun, dengan syarat setelah tamat bersedia ditempatkan di mana saja sebagai guru. Ia pun berhenti bekerja di bank dan segera mendaftar sebagai siswa baru di SGA. Selama tiga tahun (1951-1953) ia belajar di SGA, dari tahun 1951 sampai dengan 1953. Selama pendidikan di SGA, ia pernah mengarang nyanyian untuk ibu. Kata-katanya bila disimpulkan, berbunyi: betapa dalam laut, betapa tinggi gunung, tidak dapat melebihi dalam dan tingginya kasih Ibu. Sayang, teks nyanyian ini tidak dimilikinya lagi, hilang.

Setelah lulus SGA, ia ditempatkan di Tanjungpinang, Riau, menjadi guru SGB di kota itu. Ia berangkat ke Tanjungpinang dengan pesawat terbang Catalina yang mampu mendarat di permukaan laut. Di dermaga, Kepala SGB menyambut kedatangannya. Ia dibawa ke sebuah hotel tempat tinggalnya selama bertugas di Tanjungpinang. Di luar dugaannya, gaji pegawai di Tanjungpinang dibayar dengan mata uang dolar, bukan rupiah. Dengan gaji dolar, hidup guru dan pegawai PNS pada umumnya lebih dari cukup.

Di kota inilah ia berkenalan dengan Mulyani Sumarman, guru Bahasa Inggris SMP Negeri. Hubungan pun makin lama makin erat. Menjelang tahun ketiga berada di Tanjungpinang, ia merasa sudah waktunya pindah. Ia ingin ke Jakarta. Ia ingin melanjutkan pendidikan di B I Jurusan Bahasa Inggris dan membangun rumah tangga dengan Mulyani. Ia mengajukan permohonan pindah, dan dikabulkan. Mulyani akan menyusul.

Pada tahun 1956, ia pindah ke Jakarta diangkat menjadi guru di SGB V Kebayoran Baru. Kemudian, mendaftarkan diri pada B I Jurusan Bahasa Inggris. Tanggal 2 Februari 1958 ia menikah dengan Mulyani. Kemudian Mulyani diboyong ke Jakarta setelah mengajukan permohonan pindah mengajar.

Mulyani ditempatkan di SMP 11 Kebayoran Baru yang tepat berhadapan dengan sekolahnya mengajar. Mulyani pun mendaftar diri kembali pada B I Jurusan Bahasa Inggris. Dengan demikian, mereka dapat pergi dan pulang dari mengajar, atau pun kuliah di BI bersama-sama dengan mengendarai sepeda motor. Dari perkawinan ini mereka dikarunia tiga orang anak, seorang laki-laki, dua orang perempuan, yaitu Ruri Mahmud, Rika Vitrina, dan Revina Ayu.

Setelah menyelesaikan B I Jurusan Bahasa Inggris tahun 1959, Mahmud dipindahkan mengajar pada SGA Jalan Setiabudi, Jakarta Selatan. SGA mendididik calon guru Sekolah Dasar. Di sini ia berkenalan dengan Bu Fat dan Bu Meinar, guru Seni Suara.

Awal tahun 1962, dengan biaya Colombo Plan, ia ditugaskan kuliah di University of Sydney, Australia, guna memperoleh sertifikat mata kuliah The Teaching Of English As A Foreign Language selama satu tahun. Januari 1963 ia mendaftarkan diri pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Jakarta untuk melanjutkan pendidikan sampai sarjana. Pada tahun yang sama ia dipindahtugaskan ke Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak (SGTK) di Jalan Halimun, Jakarta Selatan.

Di SGTK seolah ia menemukan lahan subur untuk mengembangkan bakat musiknya, khususnya mencipta lagu anak-anak. Ia pun meninggalkan kuliah bahasa Inggris, keluar dari Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, dan menekuni musik.

SGTK memiliki suasana yang mendorongnya untuk menekuni dunia musik. Pimpinan sekolah sendiri senang akan musik. Guru Seni Musik pandai bermain piano dan mengarang lagu. Siswa SGTK turut memberikan dorongan baginya untuk mengarang lagu anak-anak. Tiap kali siswa SGTK melakukan latihan praktik mengajar, ada yang memerlukan lagu dengan tema tertentu menurut tugasnya. Pada masa itu, mencari lagu anak-anak yang sesuai dengan anak-anak agak sulit. Siswa yang memerlukan lagu baru datang kepadanya meminta dibuatkan lagu. Ia pun mencoba. Lagu yang telah dibuat, diajarkan pada anak-anak TK saat praktik mengajar. Ternyata, lagu itu disukai. Hal ini membesarkan hatinya dan membuatnya makin tekun mengarang lagu anak-anak.

Di rumah pada waktu senggang, ia mencoba mengarang lagu anak-anak sambil memetik gitar miliknya. Lagu anak-anak tentu berbeda dengan lagu untuk orang dewasa. Di mana bedanya? Pada pikiran, perasaan, dan perilaku anak itu sendiri. Ia pun mempelajari lagu anak-anak yang telah ada, seperti lagu-lagu Ibu Sud, Pak Dal, dan pencipta lagu anak-anak yang lain.

Saat tinggal di Kebayoran Baru, Mahmud sering mengajak anaknya bermain ke Taman Puring. Di sana ada ayunan, jungkat-jungkit, dan lapangan yang cukup luas sehingga anak-anak dapat melakukan permainan lain, seperti main lempar bola atau kejar-kejaran. Roike yang saat itu baru berumur 5 tahun senang sekali bermain ayunan. Ia begitu menikmati permainan itu dan menjaga agar anaknya tidak sampai mengalami kecelakaan. Perasaan Roike dan pesan agar hati-hati sehingga tidak mengalami itu ia tuangkan ke dalam lagu "Main Ayunan".

Inspirasi lagu “Pelangi” hadir ketika ia mengantar anaknya, Rika, yang masih berusia lima tahun sekolah di TK. Di tengah perjalanan, Rika berteriak, “Pelangi!” sambil menunjuk ke arah langit. Ia mulai menyanyikan pelangi, mencari kata-kata yang tepat yang menjadi pikiran anak kecil, selanjutnya ketika tiba di rumah, ia iringi dengan gitar dan jadilah sebuah lagu.

Lahirnya lagu “Ambilkan Bulan” terjadi ketika anaknya Roike tengah bermain di beranda rumah. Saat itulah ia melihat ke langit dan melihat bula. Segera ia berlari dan menggandeng lengan ayahnya diajak ke luar. Tiba-tiba si anak berkata, “Pa, ambilkan bulan.” Jelas saja AT Mahmud bingung. Awalnya kejadian itu berlalu begitu saja. Namun, permintaan si anak terus terngiang di telinganya. Minta bulan, untuk apa? Dengan mencoba menerawang dunia dan bahasa anak, AT Mahmud pun menuliskan permintaan itu dalam bait-bait lagu. Tadinya “ambilkan bulan pa” diubah menjadi “ambilkan bulan bu” sehingga terkesan lebih lembut.

Lain lagi dengan lagu “Amelia”. Amelia adalah nama seorang anak kecil yang riang, sering bertanya, tidak bisa diam, lincah, dan ingin tahu banyak hal. Amelia adalah anak dari Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup pada masa Orde Baru. Emil Salim tak lain adalah sahabat waktu kecil Mahmud ketika sama-sama sekolah di Sekolah Menengah Umum Bagian Pertama (SMU, setingkat SLTP), di Palembang. A.T. Mahmud melukiskan sifat Amelia dalam lagunya sebagai gadis cilik lincah nian, tak pernah sedih, riang selalu sepanjang hari.

Dorongan untuk membuat lagu datang pula dari guru-guru. Salah satunya adalah Ibu Rosna Nahar. Para siswa pun senang dengan lagu-lagu ciptaannya. Ia kemudian membentuk kelompok paduan suara siswa SPG. Lagu ciptaannya terus bertambah, dan mulai tersebar di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar terdekat, kemudian melebar di sekolah-sekolah lain. Radio Repulik Indonesia (RRI) memintanya membantu mengisi acara anak-anak pada sore hari, dengan memperkenalkan lagu lama maupun baru. Kesempatan ini ia pergunakan untuk memperkenalkan lagu ciptaannya sendiri.

Pelan tapi mantap, lagu-lagunya mulai dikenal di kalangan anak-anak, guru sekolah, dan orang tua. Tahun 1968, Televisi Republik Indonesia (TVRI) mengundangnya. Salah seorang pejabat di sana menjelaskan bahwa TVRI ingin menyelenggarakan sebuah acara baru, yaitu musik anak-anak tingkat SD. Ia diminta untuk mengoordinasi acara ini. Akhirnya jadilah sebuah acara bertajuk “Ayo Menyanyi” yang mulai mengudara tanggal 3 Juni 1968.

Sumber lagu umumnya diambil dari lagu-lagu ciptaan, antara lain: Ibu Sud, Pak Dal, Pak Tono, S.M. Moechtar, Kasim St. M. Syah, A.E. Wairata, S. Anjar Sumyana, C. Tuwuh, Martono, Andana Kusuma, Angkama Setiadipradja, Pak Sut, Pak Rat, Kusbini, Daeng Soetigna, Hs. Mutahar, L. Manik, M.P. Siagian, A. Simanjuntak, R.C. Hardjosubrata, Sancaya HR, dan Mus K. Wirya.

Dari lagu-lagu yang dikirimkan, dan masih dikenal, antara lain: "Terima Kasihku" oleh Sri Widodo dari Yogyakarta, "Bunga Nusa Indah" oleh Djoko Sutrisno, dan 'Anugerah" oleh Indra Budi (putra Bu Meinar). Ayo Menyanyi telah menjadi salah satu wadah bagi mereka yang berminat untuk membuat lagu anak-anak, pendidikan musik anak-anak khususnya. Bertanggal April 1968, ia menerima sebuah lagu dari Mochtar Embut, berjudul "Ibu Guru Kami", yang kemudian disiarkan di TVRI.

Atas usul AT Mahmud, tahun 1969 TVRI menambah acara lagu anak yaitu “Lagu Pilihanku”. Jika “Ayo Menyanyi” berbentuk pelajaran untuk menyanyikan lagu baru, maka “Lagu Pilihanku” bersifat lomba. Jumlah peserta 5 (lima) orang yang dipilih melalui tes. Untuk testing, calon peserta harus melapor diri pada Kepala Sub Bagian Pendidikan, yang kemudian akan memperoleh Surat Peserta Testing. Testing dilakukan oleh dua orang yang ditunjuk koordinator acara, berlangsung di studio TVRI. Acara ini ditayangkan dua kali sebulan, bergantian setiap seminggu sekali dengan Ayo Menyanyi.

Setelah kedua acara di atas berlanjut dan berkesinambungan selama 20 tahun, pada tahun 1988, atas suatu kebijaksanaan pimpinan TVRI, seluruh tim diminta mundur dari kedua acara tersebut. Untuk beberapa saat acara Ayo Menyanyi dengan nama lain dilanjutkan dengan pembawa acara seorang artis, yang berlangsung tidak lama. Kemudian, pembawa acara digantikan seorang artis lain. Itu pun hanya bertahan sebentar, kemudian untuk seterusnya menghilang sama sekali dari tayangan di layar TVRI.

Kehadiran acara Ayo Menyanyi dan Lagu Pilihanku, ternyata telah menarik minat kalangan perusahaan rekaman untuk merekam lagu anak-anak pada piringan hitam. Tercatat nama perusahaan rekaman, seperti: Remaco, Elshinta, Bali, Canary Records, Fornada, J & B Records. Lagu-lagu ciptaan AT Mahmud pun mendapat perhatian. Di samping lagu-lagu ciptaan pencipta lainnya, ada sekitar 40-an lagu A. T. Mahmud tersebar pada 7 (tujuh) piringan hitam antara tahun 1969, 1972, dan tahun-tahun sesudah itu, yakni Citaria, Musim Panen. Jangkrik, Gelatikku. Layang-Layangku, Ade Irma Suryani, Kereta Apiku, Jakarta Berulang Tahun, Pemandangan, Timang Adik Timang, Pulang Memancing, Hadiah untuk Adik, Tidurlah Sayang, Mendaki Gunung, Sekuntum Mawar, Tepuk Tangan, Kincir Air, Dua Ekor Anak Kucing, Bulan Sabit, Lagu Tor-Tor, Tupai, Burung Nuri, Di Pantai, Senam, Bintang Kejora, Aku Anak Indonesia, Aku Anak Gembala, Kunang-Kunang, Naik Kelas, dan Awan Putih.

Waktu terus berjalan. Akhirnya, salah satu lembaga pendidikan Islami meminta AT Mahmud untuk memberikan penataran sejenis pada sekolahnya untuk guru-guru TK. Ia berpendapat, alangkah baiknya jika contoh lagu yang ia berikan, juga bernapaskan Islami. Yang Islami itu yang mana? Karena hal ini merupakan sesuatu yang baru baginya. Mahmud mencari tahu apa yang dimaksudkan dengan lagu islami, seni islami pada umumnya. Di satu sisi, tentu ada yang sama, yaitu sasarannya tetap anak-anak juga. Akan tetapi, di sisi lain, tentu ada bedanya dengan lagu anak-anak yang umum. Bedanya paling tidak pada pesan yang akan disampaikan, pada maksud dan tujuan yang ingin dicapai.

Mulailah ia mencari buku-buku referensi. Dari beberapa buku Islami yang dibaca, ia mulai mempelajari tentang seni Islam, musik Islami, atau lagu Islami. Ia menemukan jawaban pada buku yang ditulis M. Quraish Shihab "Wasasan Al-Quran", bagian keempat: "Wawasan Al-Quran tentang Aspek-Aspek Kegiatan Manusia" subbab "Seni" halaman 398.

"... seni Islam adalah ekspresi tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantarkan menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan ...menggambarkan hubungan ...dengan hakikat mutlak, yaitu Allah swt. ...dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia, menggambarkan akibat baik dan buruk dari suatu pengamalan ..."

Pengertian ini dianggapnya sejalan dengan rumusan yang dikutip dari bacaan lain, berbunyi: " (musik islami) bermaksud dan bertujuan untuk meningkatkan daya pikir dan rasa dalam kaitan gagasan dan pendidikan akhlak, dengan cakupan dua aspek, yaitu a) akhlak terhadap Allah, dan b) akhlak terhadap sesama manusla.

Dalam pengertian inilah kemudian ia menciptakan lagu-lagu Islami, dengan cara menerjemahkannya menurut dan sesuai dengan karakteristik anak yang sedang tumbuh dan berkembang menuju kedewasaannya.

AT Mahmud pun memikirkan untuk menghimpun semua lagu yang diciptakan dalam bentuk buku. Ia pernah mencetak sendiri, dengan biaya sendiri, dan penyebaran sendiri melalui sekolah langsung, yang menghasilkan dua buku kumpulan lagu yaitu “Lagu Anak-Anak Kami Menyanyi” (44 lagu) disusun pada tahun 1969 dan “Lagu Anak-Anak Main Ayunan” (30 lagu) pada tahun 1970.

Penerbit PT Sinar Bandung mencetak lagu-lagunya berjudul “Nyanyianku” (30 lagu yang pada umumnya berbeda dengan lagu pada “Main Ayunan”, tahun penerbitan tidak ada. Tahun 1976, I. Elisa dari Bandung menerbitkan sendiri 8 lagu cipaannya dalam gubahan untuk iringan piano, dengan judul “Lagu Anak-Anak”. Penerbit Yudhistira Jakarta menerbitkan tiga kumpulan lagu berturut-turut, masing-masing dengan judul “Merdu Berlagu” dalam 4 jilid (tahun penerbitan tidak tercantum).

Ternyata, penerbit besar pun ikut tertarik menerbitkan buku lagu-lagu anak. Di antara penerbit yang menerbitkan buku kumpulan lagu-lagu adalah Balai Pustaka, Tiga Serangkai Solo, Gramedia, Grasindo. Grasindo pun menerbitkan nyanyian Islami berjudul “Mustiqa Dzikir Nyanyian Islami Berdasarkan Hadis Rasulullah”.

Selain menciptakanlagu, AT Mahmud pun sempat menulis beberapa buku, terutama sebagai anggota tim. Hal itu terjadi ketika menjadi anggota tim penulis untuk buku musik SPG pada Proyek Penyedian Buku Sekolah Guru Tahun ke-5 Pembangunan Lima Tahun I 1973/1974. Sejumlah buku yang ditugaskan pada timnya adalah Buku Musik 1, 2, 3, dan 4 untuk SPG. Selanjutnya, ia bersama Bu Fat menulis buku pelajaran musik “Musik di Sekolah Kami Belajar Seni Musik Aktif dan Kreatif untuk Sekolah Dasar” yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1994.

Tahun 1995 ia menulis buku “Musik dan Anak” atas permintaan Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan 1994/1995 Direktorat Jenderal Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sekitar bulan Oktober 1999, Seli (Seli Theorupun Pontoh) dari Sony Music bertamu ke rumahnya. Dia datang bersama Dian Hadipranowo yang ternyata pernah menjadi guru piano cucunya, Sasti. Seli menjelaskan maksud kedatangan mereka, pertama ingin berkenalan dengan A. T. Mahmud, kedua, Sony Music bermaksud meluncurkan album perdana lagu anak-anak dengan label Sony Wonder.

Saat itu dirasakan bahwa lagu anak-anak yang ada di pasaran pada umumnya lagu-lagu yang agak "lain", berbeda dengan lagu anak-anak yang pernah diciptakan seperti oleh A. T. Mahmud, Ibu Sud, atau Pak Kasur. Sony Music ingin memunculkan kembali lagu anak-anak yang dahulu akrab di telinga anak-anak Indonesia. Mereka yakin, di kalangan orang tua pada umumnya ada rasa kerinduan akan lagu-lagu semacam itu.

AT Mahmud terkejut dengan apa yang disampaikan. Ia sangat senang lagu-lagu karyanya diperhatikan. Segera ia serahkan sejumlah koleksi lagu-lagu yang kebetulan telah difotokopi dari naskah asli. Menjelang bulan Mei 2000, Sony Music telah memilih 15 (lima belas) lagu dengan penyanyi Tasya (Shafa Tasya Kamila), dan penata musik Dian Hadipranowo.

Pada 4 Mei 2000 lagu-lagu yang terpilih dengan label Sony Wonder berjudul "Libur Telah Tiba" dengan subjudul "Karya Abadi A. T. Mahmud" diedarkan. Atas keberhasilan album ini, selalu ia katakan pada diri sendiri, keberhasilan album itu bukanlah semata karena lagu A. T. Mahmud. Setidaknya ada tiga unsur yang terlibat, saling mendukung, yaitu, lagu, Tasya sebagai penyanyi anak, dan tatanan musik Dian, dalam kesatuan utuh. Tak kalah penting adalah "keberanian" Sony Music memunculkan kembali lagu-lagu lama yang sudah puluhan tahun umurnya dalam satu kaset.

Setahun kemudian tanggal 5 Juni 2001 Sony Wonder mengedarkan album kedua dengan semua lagu ciptaannya berjudul "Gembira Berkumpul". Kembali sambutan masyarakat akan album ini tidak mengecewakan. Kemudian 18 Oktober 2001, menjelang bulan Ramadan 1422 H, Sony Wonder meluncurkan album "Ketupat Lebaran" yang memuat 11 (sebelas) lagu Islami. Tiga di antara lagu itu, liriknya ditulis oleh Ni Luh Dewi Chandrawati, yakni "Ketupat Lebaran", "Sahur Telah Tiba", dan "Tanganku Ada Dua". Dua lagu diambil dari lagu lama yang tidak dikenal nama penciptanya.

Atas prestasinya di bidang musik, AT Mahmud telah banyak menerima penghargaan. Empat penghargaan terakhir adalah bulan Oktober 1999, menerima Hadiah Seni dari Pemerintah, yang diserahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Juwono Sudarsono. Inilah hadiah seni pertama yang diterimanya dari Pemerintah dalam suatu upacara resmi.

Februari tahun 2001, pada saat peluncuran film Visi Anak Bangsa karya Garin Nugroho, bertempat di gedung Teater Indonesia TMII, menerima penghargaan dalam bentuk lontar yang diserahkan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Di atas lontar tertulis: Untuk yang mencipta melintasi keberagaman budaya memberi keindahan dan kemuliaan keberagaman hidup

Mei 2001 bertempat di Golden Room Hotel Hilton, diprakarsai dan melalui Yayasan Genta Sriwijaya, ia menerima penghargaan berupa trofi dari masyarakat Sumatra bagian Selatan, bersama-sama dengan tiga orang tokoh yang lain.

Pada Agustus 2003, ia pun menerima Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI (Keppres No.052 /TK/Tahun 2003 Tanggal 12 Agustus 2003).

Satu bulan kemudian, Anugerah Musik Indonesia (AMI) memberikan penghargaan berupa Lifetime Achievement Award kepadanya atas sumbangsihnya terhadap dunia musik.

Namun, di samping penghargaan formal itu, ada bentuk penghargaan lain yang informal, tetapi sangat menyentuh hati, menimbulkan rasa haru yang mendalam, yaitu penghargaan dari guru, berbentuk lagu. Lagu pertama, pada tahun 1982, ketika terlibat pada proyek peningkatan mutu guru SPG tingkat Nasional yang diselenggarakan di Puncak. Bertepatan pada hari ulang tahunnya, tanggal 3 Februari 1982, Siti Romlah, salah seorang peserta dari Yogyakarta, menghadiahkan sebuah lagu ciptaannya sendiri, berjudul "Di Hari Ulang Tahunmu, Papa".

Lagu kedua ketika menjadi salah seorang penatar pada Pendidikan dan Pelatihan Instruktur Tingkat Dasar Guru Taman Kanak-Kanak Atraktif, Pusat Pengembangan Penataran Guru Keguruan Jakarta yang diselenggarakan di Parung, Bogor, bertempat di gedung PPPG Bahasa tahun 1999, dengan peserta para guru pembina Taman Kanak-Kanak se-Indonesia. Pada saat minta diri, para peserta memintanya untuk mendengarkan sebuah lagu yang telah diciptakan sebagai kenang-kenangan. Lagu dibuat oleh Renni Kusnaeni dari TK Pembina Subang, Jawa Barat, dan syair oleh Munifah dari TK Pembina Lamongan, Jawa Timur. Naskah lagu ini bertanggal 23 Juli 1999. Seluruh peserta yang sudah dilatih malam sebelumnya bernyanyi bersama.

Setiap kali mendengar lagu ciptaannya dinyanyikan, yang pertama-tama terbayang adalah peristiwa atau cerita bagaimana lagu itu tercipta dalam ruang, waktu, dan pelaku yang melatari. Atas dasar itu pulalah dikatakan bahwa lagu ciptaannya bersumber pada tiga hal, yang berdiri sendiri atau saling mempengaruhi. Pertama: bersumber pada perilaku anak itu sendiri. Kedua: pada pengalaman masa kecilnya. Ketiga: pesan pendidikan yang ingin ia sampaikan pada anak-anak. ► Yayat Sudrajat - Yusak

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia),


Gesang Martohartono
Sebuah Legenda Maestro Keroncong


Nama:
Gesang Martohartono
Lahir:
1 Oktober 1917
Rekaman CD:
Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939).

Album Emas:
bengawan solo
jembatan merah
saputangan
si piatu
roda dunia
dunia berdamai
tirtonadi
pemuda dewasa
luntur
bumi emas tanah airku
dongengan
sebelum aku mati


Tak banyak penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa menjadi legenda di masyarakat. Satu dari yang sedikit itu, ialah maestro keroncong asal Solo, Gesang Martohartono, pencipta lagu Bengawan Solo. Sebuah lagu keroncong yang menyeberangi lautan. Lagu yang sangat digemari di Jepang. Lagu merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. Lagu yang telah menjembatani pertukaran kebudayaan pada akar rumput antara Jepang dan Indonesia.

Dan, tak banyak pula dari penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa bertahan hingga usia 85 tahun. Gesang bahkan telah membuktikan bahwa dalam usianya yang ke-85 tahun, masih mampu merekam suaranya. Rekaman bertajuk Keroncong Asli Gesang itu diproduksi PT Gema Nada Pertiwi (GMP) Jakarta, September 2002.

Peluncuran album rekaman itu bertepatan dengan perayaan ulang tahun Gesang ke-85, yang diadakan di Hotel Kusuma Sahid di Solo, Selasa (1/10) malam. Hendarmin Susilo, Presiden Direktur GMP, menyebutkan produksi album rekaman Gesang yang sebagian dibawakan sendiri Gesang, merupakan wujud kecintaan dan penghargaannya pada dedikasi sang maestro terhadap musik keroncong.

Sudah empat kali PT GMP memproduksi album khusus Gesang, yaitu pada 1982, 1988, 1999, dan 2002. Dari 14 lagu dalam rekaman compact disk (CD), enam di antaranya merupakan lagu yang belum pernah direkam. Yaitu Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939). Selebihnya lagu-lagu lama karya Gesang, yang temanya menyinggung usia Gesang yang sudah senja seperti Sebelum Aku Mati, Pamitan, dan tentu saja Bengawan Solo.

Ini memang lebih sebagai album penghormatan atas sebuah legenda daripada sebuah produk yang tak punya selling point. Dalam album ini suara Gesang agak "tertolong" karena didampingi penyanyi-penyanyi kondang: Sundari Soekotjo, Tuty Tri Sedya, Asti Dewi, Waldjinah.

"Terus terang, suara saya jelek. Apalagi saat rekaman itu saya sedang sakit batuk, sehingga terpaksa diulang-ulang hingga, ya, lebih lumayan," ungkap Gesang polos. Menurut dia, sebenarnya aransemen dan iringan musik oleh Orkes Keroncong Bahana itu dia rasa kurang cocok untuk kondisi vokalnya.

***
SUDAH lima tahun terakhir, perayaan HUT Gesang diadakan di hotel yang sama. Penyelenggaranya gabungan dari anggota keluarga Gesang dan Yayasan Peduli Gesang (YGP) dari Jepang. YGP semula merupakan wadah sejumlah warga Jepang yang memiliki penghormatan khusus pada Gesang, dan mereka menghimpun dana untuk membantu kehidupan Gesang. Sebagian dari mereka adalah orang Jepang yang berusia di atas 80 tahun, karena pada masa perang dahulu sudah mengagumi lagu Bengawan Solo.

Mereka datang berombongan dari Jepang-asal Tokyo, Pulau Shikoku, Yokohama-dan tiba sehari sebelumnya. Setiap tahun anggota rombongan berganti-ganti, dan sebagian anggota tetap. Menurut Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang, Okihara Toshio, sebenarnya banyak warga Jepang yang berniat datang ke Solo, tetapi terbentur teknis untuk mengumpulkan mereka sehingga hanya terkumpul 26 orang.

Bayangkan. Mereka menempuh jarak ribuan kilometer hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Gesang. Selain mesti membeli tiket pesawat terbang pergi-pulang dan mengeluarkan biaya akomodasi, mereka juga membawa cenderamata buat Gesang. Dari amplop berisi uang yen hinga lukisan. Bahkan ada yang sengaja datang ke Solo untuk bisa bernyanyi (bermain piano) bersama Gesang. Ada juga yang menari.
Ketua Yayasan Peduli Gesang, Ny Yokoyama Kazue (55) agak menyayangkan ketidakhadiran sejumlah warga Jepang yang tinggal di Kota Solo, padahal tahun lalu saat perayaan HUT Gesang mereka datang. HUT yang istimewa itu, 85 tahun, hanya dihadiri kurang dari 100 orang.

Ia juga menyayangkan ketidakhadiran kalangan pemusik dan penyanyi keroncong setempat. Padahal panitia dari Jepang telah menyiapkan penghargaan kepada mereka. HUT Gesang malam itu terasa sepi tanpa kehadiran penyanyi Waldjinah, komponis Andjar Any, atau kalangan musik keroncong lainnya. Tak satu pun kalangan pejabat yang hadir, maupun mereka yang selama ini menyebut dirinya menghargai musik Indonesia.

Barangkali ini sebuah ironi tentang sebuah bangsa yang konon sangat mengagungkan kepahlawanan. Ny Yokoyama mengaku, sebenarnya ia hanya melanjutkan usaha mendiang Hirano Widodo, salah seorang warga Jepang (tinggal di Klaten) pengagum Gesang. "Saya sudah telanjur berjanji pada Pak Hirano tatkala beliau dirawat di rumah sakit," tutur Ny Yokoyama. Ia bahkan mengaku, sebelumnya tidak mengenal Gesang.

***
MENYEBUT kekaguman terhadap Gesang sebagai sebuah legenda, rasanya tidak adil tanpa menyebut peran PT Gema Nada Pertiwi yang dipimpin Hendarmin Susilo (57). "Saya termasuk warga keturunan, tetapi saya cinta negeri ini, dan menyukai lagu-lagu daerah di sini seperti gending, degung, lagu-lagu Tapanuli, terutama keroncong," ungkapnya.

Hendarmin mengaku, kecintaannya pada musik keroncong seperti sudah mendarah-daging, dan karena itu ia siap berkorban. Ia juga menghormati Gesang, bahkan telah menganggapnya sebagai "orangtua"-nya.

Kalau bukan berdasar rasa kagum dan penghargaan yang mirip mitos, rasanya memang tak masuk akal sebuah perusahaan rekaman memproduksi album rekaman musik keroncong. "Apalagi di masa sulit sekarang ini," kata Hendarmin. "Memang banyak teman Asiri yang menyebut saya gila."

Ditambahkan, kalau cuma dihitung dengan ilmu dagang, memproduksi album keroncong jelas merugi. Tentang besarnya prosentase pemasaran album musik keroncong, misal dibanding musik pop, Hendarmin bertamsil, "Wah, kita harus menggunakan kaca pembesar untuk bisa melihatnya."
Sebagai gambaran, rekaman Album Emas Gesang (1999) cuma laku 7.000 kaset dan 1.000 CD. Bandingkan dengan album musik pop Indonesia yang, kalau meledak, bisa mencapai 400.000 keping. "Tetapi, dalam hidup ini kan ada harga yang lain. Yakni ketika kita dihargai oleh orang lain, seperti penghargaan orang Jepang terhadap Pak Gesang itu. Macam itu tidak bisa dinilai dengan uang saja," katanya.

Hendarmin juga menyebutkan, sebenarnya bukan hanya kalangan masyarakat Jepang yang mengagumi Gesang. Nama Gesang dengan Bengawan Solo-nya juga cukup dikenal pula di daratan Tiongkok. Dalam kaitan itu ia menyebut jasa Bung Karno yang pada masa lalu sering membawa misi kesenian ke RRC, juga Vietnam, dan negara Asia Tenggara yang lain.

Bengawan Solo
bengawan solo, riwayatmu ini
sedari dulu jadi perhatian insani
musim kemarau, tak seberapa airmu
di musim hujan air meluap sampai jauh ...

mata airmu dari solo
terkurung gunung seribu
air mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut ...

itu perahu, riwayatmu dulu
kaum pedagang s'lalu naik itu perahu

Keroncong yang Menyeberangi Lautan
Lagu "Bengawan Solo" yang berlanggam keroncong, sangat terkenal di Jepang. Orang Jepang langsung tahu bila kita menyebut "Bengawan Solo", karena sudah sejak lama mereka kenal. Terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut, mendengar lagu ini menimbulkan adanya perasaan nostalgia. Demikianlah, melalui "Bengawan Solo" yang digubah, telah tumbuh pertukaran yang bersejarah antar rakyat Jepang dan Indonesia.

"Bengawan Solo" masuk ke Jepang untuk pertama kali sekitar setengah abad yang lalu di kala masa perang. Pada waktu tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, lagu itulah yang dari radio terdengar secara luas di kalangan serdadu Jepang serta orang-orang Jepang yang berada di sini.

Seusai perang, berkat para tentara Jepang dan orang-orang perusahaan dagang Jepang yang pulang kembali ke negerinya, lagu tersebut kerap terpelihara eksistensinya, bahkan "Bengawan Solo" dengan syair dalam bahasa Jepang menjadi sangat populer. Konon orang orang di Jawa yang mendengar lagu itu merasakan ketenangan hati serta nostalgia, mengingatkan mereka akan masa mudanya karena melodi lagu serupa dengan lagu rakyat Jepang.

Salah pengertian bahwa "Bengawan Solo" merupakan lagu rakyat yang komponisnya tidak dikenal, berlangsung cukup lama. Akan tetapi ada orang-orang Jepang yang berdaya upaya bagi terjalinnya pertukaran antar rakyat biasa dengan Indonesia, mereka mencari melodi-melodi indah dari negeri-negeri lain dan membantu para komponis yang terlupakan.

Setelah mencari dan melacak keberadaan penggubahnya, Gesang pada tahun 1989, dengan dana yang dikumpulkan dari himpunan persahabatan Jepang-Indonesia di berbagai tempat di Jepang, telah dibentuk Dana Himpunan Gesang dengan alasan bahwa "Bengawan Solo bersifat Abadi", bahkan sampai didirikan sebuah monumen patung setengah badan Gesang di Taman Jeruk, Kota Solo.

Gesang datang pada festival salju Sapporo atas undangan himpunan persahabatan Sapporo dengan Indonesia pada tahun 1980, untuk pertama kali. Setelah itu telah berkali-kali datang ke Jepang atas undangan himpunan persahabatan Jepang. Demikianlah pagelaran keroncong berlangsung di Jepang untuk pertama kali dengan membawakan lagu "Bengawan Solo". Melalui Gesang dan musik keroncong, orang menjadi sadar bahwa musik adalah sesuatu yang mutlak perlu bagi persahabatan dan perdamaian dunia. Lebih-lebih lagi, berkat kerendahan hati Pak Gesang; kepribadiannya telah membawa keakraban dan kehangatan bagi orang Jepang. Berkat kunjungannya ke Jepang, keroncong telah mengalami boom secara diam-diam.

Lagu merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. "Bengawan Solo" yang melintasi batas negara, dengan memperkayakan hati manusia telah menjembatani pertukaran kebudayaan pada akar rumput antara Jepang dan Indonesia.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia),





Harry Roesli (1951-2004)
Doktor Musik Kontemporer


Nama:
Harry Roesli
Nama Lengkap
Djauhar Zahrsyah Fachrudin Roesli
Lahir :
Bandung, 10 September 1951
Meninggal:
Jakarta, 11 Desember 2004
Agama :
Islam
Isteri:
Kania Perdani Handiman (Menikah 1981)
Anak:
Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana (Kembar, lahir 1982)
Ayah:
Mayjen (pur) Roeshan Roesli

Pendidikan:
= Jurusan Sipil ITB Bandung, sampai tingkat IV (1970-1975)
= Jurusan Komposisi LPKJ kini IKJ (1975-1977)
= Jurusan musik elektronik di Rotterdam Conservatorium, Negeri Belanda (1977-1981)

Karir :
= Pemain musik dan Pencipta lagu
= Pendiri dan pemain grup musik ''Gang of Harry Roesli'' bersama Albert Warnerin, Indra Rivai, dan Iwan A Rachman (1971-1975)
= Pendiri grup teater Ken Arok (1973-1977)
= Guru besar psikologi musik Universitas Pendidikan (UPI), Bandung dan Universitas Pasundan, Bandung
= Pimpinan Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB)

Karya:
= Musik Rumah Sakit (1979 di Bandung dan 1980 di Jakarta)
= Parenthese
= Musik Sikat Gigi (1982 di Jakarta)
= Opera Ikan Asin
= Opera Kecoa

Alamat Rumah :
Jalan W.R. Soepratman 57, Bandung

Sumber:
Berbagai sumber, di antaranya PDAT



Profesor psikologi musik ini bukan musisi biasa. Dia melahirkan fenomena budaya musik kontemporer yang berbeda, komunikatif dan konsisten memancarkan kritik sosial. Doktor musik bernama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli yang lebih dikenal dengan Harry Roesli dan dipanggil Kang Harry, ini meninggal dunia Sabtu 11 Desember 2004, pukul 19.55 di RS Harapan Kita Jakarta.

Musikus mbeling kelahiran Bandung, 10 September 1951 itu meninggal dunia dalam usia 53 tahun setelah menjalani perawatan jantung di rumah sakit tersebut sejak Jumat 3 Desember 2004. Kang Harry menderita serangan jantung juga hipertensi dan diabetes. Jenazah disemayamkan di rumah kakaknya, Ratwini Soemarso, Jl Besuki 10 Menteng, Jakarta Pusat dan dimakamkan 12 Desember 2004 di pemakaman keluarga di Ciomas, Bogor, Jabar.

Cucu pujangga besar Marah Roesli ini meninggalkan seorang isteri Kania Perdani Handiman dan dua anak kembar Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana. Pemusik bertubuh tambun ini melahirkan fenomena budaya musik populer yang tumbuh berbeda dengan sejumlah penggiat musik kontemporer lainnya. Dia mampu secara kreatif melahirkan dan menyajikan kesenian secara komunikatif. Karya- karyanya konsisten memunculkan kritik sosial secara lugas dalam watak musik teater lenong.

Doktor musik alumni Rotterdam Conservatorium, Belanda (1981), ini terbilang sangat sibuk. Selain tetap berkreasi melahirkan karya-karya musik dan teater, juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan Bandung.

Seniman yang berpenampilan khas, berkumis, bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong dan berpakaian serba hitam, ini juga aktif menulis di berbagai media. Pria ini juga kerap bikin aransemen musik untuk teater, sinetron dan film, di antaranya untuk kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma. Juga menjadi pembicara dalam seminar-seminar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri.

Dan yang paling menyibukkan adalah aktivitas pemusik yang dikenal berselera humor tinggi, ini adalah membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung lewat Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya. Bahkan pria bersahaja dan dermawan ini sering terlibat dalam berbagai aksi dan advokasi ketidakadilan.

Putera bungsu Mayjen (pur) Roeshan Roesli dari empat bersaudara, ini menjadikan rumahnya di Jl WR Supratman 57 Bandung, sekaligus markas DKSB. Markas ini nyaris tak pernah sepi dari kegiatan para seniman jalanan dan ‘kaum tertindas’. Selain itu, dia juga kerap melahirkan karya-karya yang sarat kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan diktator dan korup. Maka tak heran bila kegiatannya di markas ini atau di mana saja tak pernah lepas dari pengawasan aparat.

Saat bergulirnya reformasi Mei 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto, Kang Harry bahkan berada ikut di barisan depan. Pada masa Orde Baru, tak jarang pementasan musik dan teater keponakan mantan Presiden BJ Habibie, ini dicekal aparat keamanan. Bahkan, setelah reformasi, saat pemerintahan BJ Habibie, salah satu karyanya yang dikemas 24 jam nonstop juga nyaris tidak bisa dipentaskan. Juga pada awal pemerintahan Megawati, dia sempat diperiksa Polda Metro Jaya gara-gara memelesetkan lagu wajib Garuda Pancasila.

Dia berbeda dari kakaknya (Ratwini, Utami, dan Rully) yang ketiga-tiganya jadi dokter spesialis. Dari masa belia dia tidak bercita-cita jadi dokter seperti ketiga kakaknya yang mengikuti jejak ibunya yang dokter spesialis anak. Harry bercita-cita jadi insinyur. Dia pun sempat kuliah di Jurusan Teknik Sipil ITB Bandung. Namun hanya sampai tingkat IV, karena dia merasa lebih menjiwai musik.

Namun ayahnya, pada mulanya menyatakan tidak setuju. Salah satu alasan ayahnya, karena anak-anak band itu tukang mabuk-mabukan. Tapi Harry berpandangan lain. Begitu pula ibu dan ketiga kakaknya, mendukung Harry. Bahkan, Sang Ibu memberi pengertian kepada Sang Ayah: "Biarkan Harry jadi dokter musik." Akhirnya ayahnya pun mengizinkan, asal tak dikomersialkan.

Pernyataan Sang Ibu itu memberi dorongan semangat tersendiri bagi Harry. Dia pun belajar dan berkarya dengan sungguh-sungguh dan kreatif. Sampai dia benar-benar menjadi doktor musik dari Rotterdam Conservatorium, selesai 1981. Dia juga aktif di Departemen Musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Begitu pula syarat yang dinyatakan Sang Ayah, jangan komersial, memandu kreativitasnya melahirkan karya-karya musik dan teater yang eksperimental. Karya musik dan teater yang tak akrab komersial alias tak laku dijual, tapi terkenal dan menjadi bahan kajian di berbagai universitas mancanegara, seperti di Jepang, Eropa dan Amerika.

Profesor psikologi musik ini bukan musisi biasa. Kehidupan yang sesunguhnya baginya adalah seni musik. Kehidupannya adalah kegiatan musik, mulai dari perkusi, band, rekaman musik, dan lain-lain. Dalam bermain musik, dia pun memakai peralatan yang unik. Seperti gitar, drum, gong, botol, kaleng rombeng, pecahan beling dan kliningan kecil.

Pada awal 1970-an, namanya sudah mulai melambung. Saat membentuk kelompok musik Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A Rachman. Lima tahun kemudian (1975) kelompok musik ini bubar karena para pemainnya menikah dan Harry sendiri belajar ke Belanda.

Di tengah kesibukannya bermain band, dia pun mendirikan kelompok teater Ken Arok 1973. Setelah melakukan beberapa kali pementasan, antara lain, Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, grup teater ini bubar, karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium, Negeri Belanda.

Selama belajar di negeri kincir angin itu, Harry juga aktif bermain piano di restoran-restoran Indonesia dan main band dengan anak-anak keturunan Ambon di sana. Selain untuk menyalurkan talenta musiknya sekaligus untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya yang tidak mencukupi dari beasiswa.

Suatu ketika cucu pengarang roman Siti Nurbaya, Marah Roesli, ini pulang liburan. Dia pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menikah dengan kekasihnya, Kania Perdani Handiman, yang kemudian diboyongnya ke Balanda. Pernikahan itu, melahirkan buah hati anak lelaki kembar pada 1982.

Sekembalinya ke tanah air, sejak tahun 1983, dia menggarap musik untuk hampir semua produksi Teater Mandiri dan Teater Koma sejak produksinya bertajuk Opera Ikan Asin. ►e-ti/tsl

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)



Alfred Simanjuntak
Bangun Pemudi Pemuda



Nama:
Alfred Simanjuntak
Lahir:
Parlombuan, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 8 September 1920
Agama:
Kristen

Pendidikan:
- Holands Inlandse School, Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara, 1928 – 1935
. Holands Inlandse Kweekschool, Surakarta, 1935 – 1941
- Fakultas Sastra UI, MO Bahasa Indonesia, Jakarta, 1950 – 1952
- Rijksuniversiteit Utrecht, Leidse Universiteit, Leiden, Stedelijke, Amsterdam, Nederland, 1954 – 1956
- Dr HC dari Saint John University 10 Februari 2001

Pengalaman:
- Pencipta lagu (Di antaranya Bangun Pemuda Pemudi, Indonesia Bersatulah dan Negara Pancasila)
- Guru di BPK PENABUR, TKK Gading Serpong, TKK 4, TKK 10 dan TKK 11
- Wartawan surat kabar “Sumber” di Jakarta, 1946 – 1949
- Pendiri Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia, Jakarta, 1950 dan sempat menjadi pimpinannya.
- Tahun 1967 turut mendirikan Yayasan Musik Gereja (Yamuger)
- Tahun 1985 memprakarsai Pesta Paduan Suara Rohani (Pesparani).


Namanya terukir sebagai pencipta lagu nasional ‘Bangun Pemudi Pemuda’. Judul lagu itu tampaknya selalu menjadi obsesi pria suku Batak kelahiran Parlombuan, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 8 September 1920 itu. Hal itu setidaknya tercermin dari Karya Paparnya berjudul Membangun Manusia Pembangunan, saat menerima gelar Doctor Honoris Causa (DR. HC) atas pengabdiannya selama 60 tahun di bidang pendidikan dari Saint John University, 10 Februari 2001 di Jakarta.

Alfred Simanjuntak, seorang pencipta lagu yang berprofesi sebagai guru hampir sepanjang hidupnya. Saat menulis lagu Bangun Pemuda-Pemudi tersebut dia berusia 23 tahun (1943) dan bekerja sebagai guru Sekolah Rakyat Sempurna Indonesia di Semarang. Sebuah sekolah dengan dasar jiwa patriotisme yang didirikan oleh sejumlah tokoh nasionalis seperti Dr Bahder Djohan, Mr Wongsonegoro, dan Parada Harahap.

Obsesi kemerdekaan negeri dan membangun pemuda-pemudi Indonesia itu terus memenuhi benaknya hingga suatu kali saat sedang mandi Alfred terinspirasi menulis syair lagu itu. Kala itu dia seperti mendengar suara-suara melodi di telinganya. "Tuhan memberikan lagu ke kuping saya selagi lagi mandi. Saya cepat-cepat mandi, lalu saya tulis segera," kisahnya.

Lagu Bangun Pemudi Pemuda itu digubahnya dalam suasana batin seorang anak muda yang gundah di negeri yang sedang terjajah. "Rasa ingin merdeka kuat sekali di kalangan anak muda saat itu. Kalau ketemu kawan, kami saling berucap salam merdeka!" tutur Alfred Simanjuntak di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang, Banten.

Bahkan menurut pengakuannya, lagu tersebut nyaris mengancam jiwanya. Sebab, gara-gara lagu yang dinilai sangat patriotik itu, nama Alfred Simanjuntak masuk daftar orang yang dicari Kempetai, polisi militer Jepang untuk dihabisi.

Hingga saat ini, lagu itu masih tetap dikumandangkan, termasuk pada setiap perayaan Kemerdekaan RI 17 Agustus. Bahkan Band Cokelat pada album Untukmu Indonesia-ku juga merilis lagu itu. Juga oleh Paduan Suara Anak-anak Surya dalam album Kumpulan Lagu Wajib Indonesia Raya.

Alfred di masa kecil, hidup bersahaja tapi bahagia. Dia putera pasangan Guru Lamsana Simanjuntak-Kornelia Silitonga, delapan bersaudara. Dia mengenang saat makan nasi, daun singkong, dengan lauk ikan asin sebesar jari. Namun dia tetap mensyukuri ikan asin yang cuma seujung jari itu. Keluarga itu tetap hidup dalam sukacita.

Sukacita itu tercermin dari kegemarannya bernyanyi. Alfred sering tampil bernyanyi di acara Natal sejak duduk di Hollands Inlandsche School (HIS) di Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara. Kemudian kemahiran musik Alfred berkembang ketika dia belajar di Hollands Inlandsche Kweek School atau semacam sekolah guru atas di Margoyudan, Solo, Jawa Tengah, 1935-1942.

Di sekolah itu jiwa nasionalisme Alfred menguat. Sebab di sekolah itu dia berkumpul dengan kawan-kawan dari berbagai daerah, suku dan budaya, seperti Manado, Ambon, Batak dan Jawa. “Rasa percaya diri kami sebagai satu bangsa sudah tertanam kuat," kenang Alfred, yang akrab dipanggil Pak Siman dan fasih berbahasa Jawa.

Kemudian tahun 1950 – 1952, Alfred melanjut ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia, MO Bahasa Indonesia, Jakarta. Lalu tahun 1954 – 1956 berturut-turut melanjutkan belajar di Rijksuniversiteit Utrecht, Leidse Universiteit, Leiden, Stedelijke, Amsterdam, Nederland.

Pada tahun 1946-1949, dia sempat menjadi wartawan surat kabar “Sumber” di Jakarta. Sejak tahun 1950, ia bekerja penuh di Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia, Jakarta, dan sempat menjadi pimpinannya. Akan tetapi, dia tetap aktif di musik. Tahun 1967 turut mendirikan Yayasan Musik Gereja (Yamuger) dan tahun 1985 memprakarsai Pesta Paduan Suara Rohani (Pesparani).

Dia juga juga terus menulis lagu. Pada tahun 1980, dia menulis lagu Negara Pancasila. Belakangan dia diminta Gus Dur menggubah Himne Partai Kebangkitan Bangsa. Selain itu, Alfred juga banyak mencipta lagu rohani. Bahkan dia pernah menulis lagu dalam irama dangdut, Terumbu Karang atas permintaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang akan disosialisasikan kepada masyarakat di kawasan pesisir Riau, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.

Alfred kini telah menjadi ompung (kakek) dari 11 cucu yang lahir dari empat anaknya, yaitu Aida, Toga, Dorothea, dan John. Putri sulungnya, Aida Swenson-Simanjuntak, dikenal sebagai penggiat kelompok Paduan Suara Anak Indonesia. ►e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

================================================
Alfred Simanjuntak
Membangun Manusia Pembangunan
CATATAN REDAKSI: Pada 10 Februari 2001, Alfred Simanjuntak menerima gelas Doctor HC dari Saint John University, dengan Karya Papar berjudul MEMBANGUN MANUSIA PEMBANGUN. Berikut ini naskah elngkap karya papar Alfred Simanjuntak tersebut.

=================================================
Bangun Pemudi Pemuda
Ciptaan: A. Simanjuntak

Bangun pemudi pemuda Indonesia
Tangan bajumu singsingkan untuk negara
Masa yang akan datang kewajibanmu lah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa


Trisutji Djuliati Kamal
Komponis dan Pianis


Nama:
Trisutji Djuliati Kamal
Lahir:
Jakarta, 28 November 1936
Profesi:
Komponis dan Pianis

Suami:
Ir A Badawi Kamal
Anak:
Mahendra (47)
- Mahendrani atau Rani (45)
- Paramagita atau Gita (44)
Ayah:
Dokter Djulham Surjowidjojo
Ibu:
BRA Nedima Kusmarkiah
Saudara:
Tripudjo Djuliarso

Pendidikan:
- SD (1947)
- SMP Methodist School, Medan (1950)
- SMA Concorante, Medan (1954)
-Conservatorium Musik Amsterdam, Negeri Belanda (1955)
- Ecole Normale ttt, Paris, Prancis
- Conservatorio de Musica St Caecilia, Roma, Italia (1963)

Karir:
- Mengajar di Sekolah Musik Murni di Medan (1968)
- Resital di Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, Solo (1968- 1976)
- Anggota Asian Composer's League (1974-1980)
- Ketua Ikatan Komponis Indonesia (sekarang)
- Pendiri Lembaga Musik Indonesia Hasil karya antara lain Komposisi -Musik Pementasan Opera Loro Jonggrang di Roma (1956)
- Pementasan Jubilatedeo untuk Paduan Suara di Roma (1956)
- Membuat naskah musik film Apa Yang Kau Cari Palupi
- Lewat Tengah Malam (1969) Pementasan Balet Gunung Agung (1979)
- Komposisi untuk Piano Tunggal, PT Gramedia, 1983

Karya:
- 200 komposisi, di antaranya: Sungai, Kepergian, Opera Roro Jonggrang, 10 musik ilustrasi film, lebih 130 piano solo, 2 solo flute, 1 flute dengan piano, 3 solo biola alto, 1 biola alto dengan piano, 1 solo cello, 25 vokal dengan piano perkusi dan vokal Bali, 6 ensemble, 4 trio dan kuartet, 4 paduan suara a cappella, 3 paduan suara dengan simfoni orkestra, 5 karya simfoni, 1 piano konserto dengan orkestra, 1 piano konserto dengan bumbung Bali, harpa, viola dan cello, 5 musik sendratari

Alamat Rumah:
Jalan MPR V No. 15, Cilandak, Jakarta Selatan


Komponis dan pianis kenamaan kelahiran Jakarta, 28 November 1936, ini telah lebih 50 tahun berkarya dalam dunia seni musik. Trisutji Djuliati Kamal, lulusan Conservatorio de Musica St Caecilia, Roma, Italia, itu telah menulis sekitar 200 karya musikal. Di antaranya 130 komposisi untuk piano telah direkam dalam sepuluh compact disc (CD) berjudul "Complete Piano Works Series" (1951-2006), yang seluruh dimainkan pianis Ananda Sukarlan.

Dua dari CD itu diluncurkan 5 April 2006 di The Bimasena Club, Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Album lainnya akan dirilis secara bertahap. Terakhir tahun 2007, ditandai dengan pementasan sendratari Gunung Agung yang akan melibatkan musisi Erwin Gutawa dan penata artistik Jay Subyakto.

Trisutji seperti tak kenal lelah dalam berkarya. Sepertinya makin tua semakin banyak ide, walaupun tenaganya makin berkurang. Namun,ia bertekad akan terus mencipta sampai tak bisa lagi. Ia ingin orang bisa menikmati musiknya.

Di antara 200 komposisi karya musikalnya adalah: Sungai, Kepergian, Opera Roro Jonggrang, 10 musik ilustrasi film, lebih 130 piano solo, 2 solo flute, 1 flute dengan piano, 3 solo biola alto, 1 biola alto dengan piano, 1 solo cello, 25 vokal dengan piano perkusi dan vokal Bali, 6 ensemble, 4 trio dan kuartet, 4 paduan suara a cappella, 3 paduan suara dengan simfoni orkestra, 5 karya simfoni, 1 piano konserto dengan orkestra, 1 piano konserto dengan bumbung Bali, harpa, viola dan cello, 5 musik sendratari

Dia terpikir membuat dokumentasi auditif setelah Ananda Sukarlan dan teman-teman lain bertanya kenapa tidak membuat CD karya-karyanya agar lestari dan publik lebih mengenal dan menikmatinya. Seperti yang sudah dilakukan komponis Amir Pasaribu, Mochtar Embut, dan lain-lain.

Selama ini nasib 200 karyanya itu berantakan. Bahkan dia sendiri banyak yang lupa ditaruh di mana. Lalu, dia pun terpaksa kumpulin pelan-pelan untuk bisa direkam. Untunglah dia punya catatan yang disimpan sendiri. Namun catatan itu hanya dia yang bisa tahu. Ada yang berupa sketsa, hanya berupa ide satu atau dua bar. Bahkan dia sendiri mengaku kadang tidak ingat kalau pernah menulis karya itu.

Untunglah Ananda 'memaksanya' untuk menyelesaikan. Kalau tak dipaksa tidak akan selesai. Karyanya banyak yang tercecer. Contohnya, Nocturno yang saya buat tahun 2002. Premier-nya baru 5 April 2006 oleh Ananda.

Kadang ada juga komposisi yang dia tidak suka, lalu tersendat. Ada juga yang memang belum matang. Dia malas meneruskan, lalu bikin karya lain lain. Namun suatu hari ketemu lagi dan diterusin lagi.

Titi, panggilan akrabnya, mulai menekuni piano ketika baru berusia tujuh tahun. Ayahnya, RM Djulham Surjowidjojo, seorang dokter yang mahir main biola, yang memberi dorongan padanya. Kala itu ayahnya bekerja di Binjai, Sumatera Utara. Di sana Titi sempat dibimbing oleh guru-guru piano asal Jerman, Dora Krimke dan L Remmert.

Saat kembali ke Jakarta, 1955, Titi belajar pada Joan Giesen, seorang musisi dari Belanda. Ia juga sempat berguru pada musisi kenamaan Henk Badings. Kemudian, selama 12 tahun Titi hijrah ke Eropa, belajar pada Conservatorium Amsterdam, Ecole Normale de Musique, Paris. Kemudian, belajar di Conservatorio de Musica St Caecilia, Roma, Italia (1963).

Komposisi pertamanya, Sungai, lahir ketika umur 15 tahun. Kala itu, Trisutji suka memandangi Sungai Bingai di Binjai. Lalu, ia menggambarkan filosofi sungai. Mulai titik air, lalu terkumpul menjadi aliran yang mengalir melalui gunung, lembah, terus membesar dan sampai ke laut. Hal itu ia ibaratkan sebagai kehidupan manusia.

Kemudian, ia juga menulis Kepergian, yang sering dimainkan sebagai lagu wajib di YPM. Lagunya sederhana sekali. Idenya juga sederhana, yaitu kepergian kapal yang meninggalkan pelabuhan pelan-palan dan menjauh.

Tahun 1956, ia menulis Opera Roro Jonggrang. Kala itu, gurunya orang Rusia, mendorong untuk mencipta itu. Sang Guru memberi ide: Di Indonesia banyak legenda menarik, kenapa kamu tak bikin.

Pada waktu menulis opera itu, ia sedang belajar dodecaphone, serial musik dari Arnold Schoenberg. Dia temukan sistem not 12 nada. Tapi ia tidak menulis opera itu dengan sistem seri. Hanya ada pengaruhnya saja. Jadi pengaruh Opera Roro Jonggrang itu campuran. Dodecaphone, pentatonik dan opera lirik. Dalam proses menulis itu, ia temukan gaya sendiri. Opera itu dipentaskan di Castel St Angelo, tenornya Adi Santosa, orang Indonesia, seorang diplomat yang hobi nyanyi. Penyanyi soprannya orang Filipina, yang tak bisa bahasa Indonesia.

Dalam komposisi Ramadhan, Trisutji memainkan dengan cara memetik dawai piano. Ia memukul dawai, untuk mengejar efek mistik, religius. "Saya pingin kasih sentuhan atau efek damai. Ada ekspresi yang tak terwakili jika itu saya mainkan dengan tuts," katanya seperti ditulis Kompas, 16 April 2006.

Selain itu, Trisutji juga pernah membuat lagu gereja Jubilate Deo. Kala itu tugas sekolah. Gurunya organis di gereja Episcopal Church di Turino. Gurunya bilang, "Coba bikin lagu untuk gereja." Itu termasuk tugas, tapi akhirnya sering dimainkan di gereja. Awalnya, ia merasa susah juga karena lagu rohani yang ia kenal adalah model Jerman. Namun karena ia pernah sekolah di Methodist English School di Medan, di mana mereka tiap hari kami bernyanyi. Jadinya, ia bisa me-rewind sedikit ingatan lama dan bisalah akhirnya bikin lagu. Namanya Jubilate Deo. Setelah itu berhasil, ia pun kemudian mendapat tugas membuat opera.

Darah seniman turun dari ayahnya, Dokter Djulham Surjowidjojo, yang adalah pemain biola dan pelukis. Trisutji anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya, Tripudjo Djuliarso, mendalami instrumen biola tapi kemudian menjadi pengusaha.

Trisutji tumbuh di lingkungan keluarga Jawa di lingkungan kultural Melayu di Binjai, Sumatera Utara. Eyangnya dari pihak ibu, berteman akrab dengan Sultan Langkat. Sang ayah dari keluarga besar Arumbinang dari Purworejo (Jawa Tengah). Ibu dari ayah Trisutji masih keturunan Mangkunegaran, Solo. Sedangkan sang ibu, BRA Nedima Kusmarkiah, adalah cucu dari Sinuwun Paku Buwono X, Solo. Sang ibu adalah anak dari Pangeran Hadiwidjojo.

Kendati keluarganya tinggal i tengah lingkungan Melayu, namun kultur Jawa tetap hidup dalam keluarga itu atas didikan Sang Ibu. Sang Ibu menghidupkan tradisi Jawa, bahkan seperti kerajaan mini di dalam kerajaan. Trisutji diharuskan pakai kain. Kalau hari minggu atau hari libur, ia harus pakai kain kebaya. Ke Eropa saja ia masih pakai kain. Waktu anak-anak, ibunya mengajari mereka berbahasa Jawa dan menulis dengan huruf Jawa. Setiap hari Sabtu, mereka diharuskan menulis surat dalam bahasa Jawa kepada Eyang di Solo.

Ia dan adiknya juga diajari tembang dolanan. Mereka pun main Cublak-cublak Suweng dengan anak-anak pembantu yang dibawa dari Jawa.

Sementara interaksi dengan budaya Melayu juga berlangsung pada saat bersamaan. Hampir setiap hari mereka ke Istana Langkat. Ibunya dianggap seperti anak sendiri oleh Sultan Langkat. Hampir Setiap hari mereka breakfast dengan keluarga Sultan. Maka ia pun sering dengar Serampang Duabelas dan musik Melayu. Kalau ada tamu, mereka pakai musik Melayu yang dimainkan dengan biola dan akordeon.

Titi menikah dengan arsitek Ir A Badawi Kamal, anggota keluarga Kamal, pemilik Kamal Furniture, Jakarta, yang memberinya tiga anak: Mahendra (47), Mahendrani atau Rani (45), dan Paramagita atau Gita (44). Dua di antaranya ada yang mengikuti jejak ibunya di bidang musik, yaitu Rani dan Gita. ►e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)



Nortier Simanungkalit
Maestro Mars dan Himne


Nama:
Nortier Simanungkalit
Lahir:
Tarutung, 17 Desember 1929
Isteri:
Sri Sugiarti boru Simorangkir
Anak:
- Meirana Sinamungkalit
- Eldira Roselita Simanungkali
- Ilmiata Herriati Simanungkalit

Pendidikan:
- Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Profesi:
Komponis

Karya:
- Lebih 150 komposisi himne dan mars


Nortier Simanungkalit seorang maestro Indonesia. Komponis lulusan Pedagogi UGM itu telah mencipta lebih 150 komposisi musik yang semuanya berupa mars dan himne. Maestro kelahiran Tarutung, 17 Desember 1929 yang juga mantan Komandan Tentara Pelajar Sub-Teritorial VII Sumatera Utara, itu menekuni musik sejak berusia 19 tahun. karya pertamanya sebuah lagu seriosa Sekuntum Bunga.

Hidup Nortier Simanungkalit teratur seperti lagu-lagu mars dan himne ciptaannya. Delapan jam istirahat, delapan jam santai. Sisanya, berkarya. Hasilnya, meski Desember nanti akan memasuki usia 77 tahun, ia masih segar bugar dan menghasilkan lagu. Bahkan dia sedang mempersiapkan proposal akademis untuk mendapatkan gelar doktor honoris causa.

Mars dan himne menjadi identitas pria kelahiran Tarutung, Sumatera Utara, 17 Desember 1929, itu. Pembaca pasti masih ingat denting piano pada intro lagu Senam Kesegaran Jasmani pada 1980-an. Kalau partiturnya masih ada, di bawah judul mars tadi pasti tertulis nama N. Simanungkalit.

Di luar dua komposisi itu, masih ada ratusan, tepatnya 268, komposisi lain yang sudah dihasilkannya. Seluruhnya diciptakan ompung empat cucu itu sejak ia remaja, pada 1950-an. Sayang, pria yang tak punya latar belakang pendidikan khusus musik ini lupa judul mars perdananya.

Tapi untuk debutnya di luar mars dan himne, ia ingat betul. "Sekuntum Bunga di Taman," kata suami Sri Sugiarti boru Simorangkir itu. Lagu itu berirama pop. Ditulis ketika Simanungkalit baru satu semester menuntut ilmu di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Semangat mencipta lagunya makin menggebu ketika Sekuntum diputar RRI Yogyakarta. Lewat stasiun radio itu pula, guru seni suara sebuah SMA di Yogyakarta (1957-1964) itu mendengar siaran musik klasik kesukaannya. Kalau akhirnya ia lebih terpikat pada mars, tak lain karena menurut dia, "Mars adalah induk seluruh lagu."

Karya cipta Simanungkalit tersebar sampai ke "negeri Paman Sam". Lewat Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Palang Merah Amerika memesan sebuah himne dari dia pada 1999. Sebulan penuh dihabiskan Simanungkalit sebelum mendapatkan komposisi yang pas. Untuk keberhasilannya, ia mendapat medali jenis Special Recognition dari Palang Merah Amerika.

Itu bukan pengalaman pertamanya dengan negeri Paman Sam. Pada 1972, Simanungkalit pernah bersantap siang dengan Presiden Richard Nixon. Ia berada di Amerika Serikat dalam rangka menjadi juri Festival Paduan Suara Mahasiswa Internasional. Kiprah dosen kor Akademi Musik Indonesia Yogyakarta (1964-1966) itu di pentas internasional tak sebatas menjadi juri. Selama periode 1968-1981, ia menjadi anggota International Music Council UNESCO.

Ada yang tak biasa dari Simanungkalit. Bila biasanya seorang komposer membangun sebuah komposisi lewat alat musik yang dikuasainya, tak demikian dengan komposer yang satu ini. Ia lebih sering membayangkannya terlebih dulu. Lalu nada-nada yang terlintas di kepala dituangkan ke atas secarik kertas. Biasanya, sebagian besar dari komposisi tadi sudah tercipta di luar kepala.

Untuk mendapatkan harmonisasi, atau agar tahu komposisi itu secara utuh, Simanungkalit menggunakan jasa orang lain. Misalnya saat mencipta Mars Pemilu 2004, ia menggunakan jasa seorang pianis di studio Monang Sianipar, Jakarta. "Di situlah kekuatan imajinasi dan seni," kata bapak tiga anak itu.

Simanungkalit memperhatikan betul keselarasan lirik, yang senantiasa filosofis, dengan lagu ciptaannya. Empat unsur penting selalu diupayakan ada dalam tiap ciptaannya. Yaitu melodi, harmoni, ritme, dan timbre. Kehati-hatian itulah yang membuat penerima penghargaan Lifetime Achievement dari Koalisi Media KPU dan SCTV itu enggan mengikuti lomba bila jurinya bukan maestro musik atau seorang musikolog.

Sebelum mencipta lagu, mantan anggota MPR-RI (1987-1992) itu selalu menjalani ritualnya: berdoa. "Tuntunlah saya supaya berhasil membahagiakan orang yang menerima lagu ini," kata Simanungkalit, menirukan doanya. Setelah itu, ia melakukan perenungan. Kadang lirik yang lebih dulu muncul, baru lagu. Kadang sebaliknya. Inspirasi didapatnya dari sembarang tempat.

Ketika membuat mars dan himne SEA Games, yang dipesan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Ketua KONI saat itu, ia mendapat idenya di atas bus kota. Tak tanggung-tanggung, ia mendapat dua lagu sekaligus dalam 30 menit perjalanan. "Lagunya khas Jawa. Laras pelog untuk mars, selendro buat himne," kata penerima Satya Lencana Perang Kemerdekaan I dan II itu. Mulai pukul dua siang sampai pukul 10 keesokan harinya, Simanungkalit mengutak-atik lagu tadi. "Sampai pegal tangan saya," katanya. ►e-ti/Carry Nadeak dan Rachmat Hidayat [Musik, GATRA, Edisi 23 Beredar Jumat 16 April 2004]
►e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)