Merambah Musik Rakyat
- Membuka 'risalah-risalah tertutup'
- Lagu-lagu rakyat untuk kampanye perdamaian
Membuka 'Risalah-risalah Tertutup'
Dimotori oleh Jay Wijayanto, seorang pelatih vokal dan tenoris klasik, INSIST memfasilitasi beberapa orang aktivis organisasi lokal anggotanya untuk merekam lagu-lagu dan musik rakyat dari daerah mereka masing-masing. Proyek percobaan pertama adalah 'rekaman untuk didengarkan sendiri' di studio audio-visual Yayasan Wisnu Bali di Denpasar, difasilitasi oleh Yoga Atmaja, salah seorang anggota Tim Inti Fasilitator di jaringan kerja INSIST. Waktu itu, awal tahun 2003, beberapa orang aktivis dari beberapa daerah konflik sosial sedang mengikuti Lokakarya Media untuk Kampanye Perdamaian, kerjasama INSIST-WISNU BALI dengan ALTERNATIVEs dari Kanada. Rekaman percobaan bertajuk itu disusul dengan rekaman berikutnya oleh komposer musik rakyat Timor Lorosa'e, Ego Lemos, yang juga aktivis ORNOP yang bergerak di bidang pertanian organik di
Ternyata, banyak aktivis dan masyarakat sendiri sangat menyukainya. Hal ini melahirkan gagasan untuk melakukan perekaman lagu-lagu dan musik rakyat secara lebih sistematis. Lama terbengkalai karena kekurangan biaya dan keterbatasan waktu, akhirnya gagasan tersebut mulai terwujud ketika Jaringan Baileo Maluku merancang satu rencana kampanye penggalian dana di Eropa untuk membantu kerja-kerja kemanusiaan pasca konflik sosial di Maluku, khususnya yang dilakukan oleh Himpunan Maluku untuk Kemanusiaan (HUMANUM), salah satu organisasi anggota Jaringan Baileo Maluku. Dibantu oleh NOVIB dan TITANEStichting, dibentuklah satu tim kecil khusus untuk mengumpulkan lagu-lagu rakyat Maluku. Jay Wijayanto sendiri memimpin tim kecil itu melakukan survei terutama di
Pengalaman kami sendiri selama ini menunjukkan bahwa khasanah seni dan budaya rakyat lokal adalah salah satu media yang ampuh dalam proses-proses pengorganisasian dan pendidikan kesadaran kritis akan berbagai masalah sosial. Bahkan, merupakan salah satu 'senjata kebudayaan' untuk mempertahankan jati-diri mereka yang diungkapkan dengan cara-cara yang sangat sublim. James Scott, pakar terkemuka dari teori 'sosiologi perlawanan' (sociology of resistancy) menyebutnya sebagai 'risalah-risalah tertutup' (hidden transcripts) yang sangat potensial untuk membuncah menjadi gerakan perubahan sosial yang lebih besar dan luas. Berbagai bentuknya --mulai dari lagu, mantra, pantun atau puisi, sampai ke media visual dan pentas teater-- sudah banyak dibuktikan pula efektivitasnya di berbagai belahan dunia, terutama di beberapa negara Amerika Latin, Afrika, Asia Selatan dan Tenggara.
Masalahnya sekarang adalah bahwa khasanah tersebut mulai pula dikooptasi habis-habisan oleh keserakahan industri kesenian dan kebudayaan modern yang selalu berusaha mengkomodifikasikan semua hal demi keuntungan material semata, seringkali secara tidak etis mengabaikan hak kepemilikan komunal asalnya. Itulah maksud kami sebenarnya melakukan semua ini: mengembalikan roh kesenian dan kebudayaan rakyat ke pemilik dan makna aslinya. Inilah misi utama kami di unit kegiatan baru INSIST: FolkArtCentrum.
Segera setelah 'Lenso Putih', bekerjasama dengan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Sorong, tim FolkArtCentrum kami pun baru saja menyelesaikan penggandaan cakram video (VCD) lagu-lagu rakyat Papua, khususnya daerah Kepala Burung, berisi pesan-pesan perdamaian.