www.gitaralfian.co.cc »

Minggu, 30 Maret 2008

Amir Pasaribu: Riwayatmu Kini

Oleh Yohanes Bintang Prakarsa

DIAM-diam sebuah pertunjukan kecil menjadi sejarah. Resital oleh Asep Hidayat (celo) dan Helen Gumanti (piano) di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Januari lalu, adalah pertunjukan perdana Suita untuk Celo dan Piano karya Amir Pasaribu setelah ia dikarang 50 tahun yang lalu! Sekaligus, inilah pertunjukan pertama karya Pasaribu sejak perintis pemikiran musik Indonesia dan komponis Indonesia tertua ini dianugerahi Bintang Budaya Paramadharma oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara 15 Agustus lalu.

Asep dan Helen amat bersemangat membicarakan karya mini itu, yang dalal resital itu didampingkan dengan dua karya lain, yakni Variazioni di Bravura oleh Paganini/Silva dan Sonata dalam E minor oleh Brahms. Memang Suita ini menarik. Ia merekam imajinasi Pasaribu ketika mengunjungi Cina pada awal tahun 50-an. Ia kental sekali dengan kutipan-kutipan motif-motif musik Tiongkok, dengan empat gerakan yang saling berkontras satu dengan yang lain: kelincahan dan ketenangan, keseriusan dan kelucuan, polifoni dan akord-akord sederhana, harmoni diatonik-modal dengan kromatisisme. Judul setiap gerakan menggambarkan ilham masing-masing: matahari terbit di Yangtze, monumen Dr Sun Yat Sen, kawasan Hang Tsu (atau Hangzhou), kereta ekspres yang mengangkut dia pulang.

Judul atau catatan pembawaan dalam karya Pasaribu biasanya bersifat programatik, memberi petunjuk bahwa musiknya menceritakan atau melukiskan tokoh, tempat, suasana, peristiwa tertentu: Impressi Langga, Indihyang, Suling si Bongkok, Tari Ikan Putri, bahkan Petruk, Gareng, dan Bagong! Yang belakangan ini dibuka dengan tangan kiri yang memainkan pola irama dengan aksen yang salah, disusul tangan kanan dengan melodi gagah (brilliante) yang dimainkan dengan oktaf sejajar pada wilayah nada tinggi, membuat pendengar membayangkan Si Pincang Gareng yang muncul dalam pertunjukan wayang kulit, disusul oleh Si Jangkung Petruk yang bersuara mantap. Boleh juga. Saya mengerti sekarang mengapa pianis Ananda Sukarlan, seorang penggemar Pasaribu, pernah mengatakan bahwa memainkan musik Pasaribu lebih menyenangkan daripada memainkan komposisi-komposisi Indonesia lain yang sok canggih.

Walaupun programatik, musik Pasaribu tidak dekat dengan aliran Romantik di Eropa abad ke-19 yang menjadi cikal bakal musik program dan yang populer di kalangan musik serius Indonesia sampai akhir abad ke-20. Musik Pasaribu-yang (menurut Asep) berguru pada Nikolai Varvolomeyeff, Willy van Swers, dan Joan Giesens ini -bertekstur transparan, hemat bunyi, punya bentuk yang jelas dan tertib. Suita yang diperdanakan itu, misalnya, sebenarnya memiliki bentuk konvensional, dengan skema gerakan cepat-lambat/tenang-cepat/ringan-cepat. Demikian pula Hikajat Mas Klujur (Essay for string-orchestra) adalah simfoni gesek mini dengan empat gerakan yang skema wataknya serupa dengan Suita itu.

Musik pianonya kebanyakan berupa pieces (karya satu gerakan). Kalau tidak berupa improvisasi yang amat cair dengan nada-nada cepatnya (lihat misalnya Suite Villageoise, gerakan ketiga, tentang matinya seorang Ahmad Sutisno dalam pertempuran di Tangerang lengkap dengan bunyi tembakan dan gemuruh kendaraan lapis baja), acap kali ia berawal dari motif sederhana yang dikembangkan dengan beragam cara, entah dengan modulasi, pengulangan, ostinato, polifoni. Tidak jarang teksturnya dipangkas menjadi amat sederhana dengan dua suara (tangan kiri dan tangan kanan masing-masing main satu not saja).

Harmoninya yang acap kali bersifat modal mengingatkan kita pada musik Eropa (khususnya Perancis) pada peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, sedangkan melodinya sering berbau musik Indonesha seperti gamelan (dengan tangga nada kuasi-pelog) dan keroncong (misalnya violin 1 pada Hikajat Mas Klujur yang dihias dengan amat rawit).

Walaupun Helen masih mengatakan bahwa di beberapa tempat Suita itu terasa kurang pianistik, Pasaribu mungkin komponis Indonesia generasi pertama yang paling kaya dalam gagasan dan keterampilan komposisi, khususnya penguasaan idiom musik piano. Bernasnya ide Pasaribu menjadi amat kentara apabila dibandingkan dengan komponis-komponis yang lebih terkenal daripada dia, seperti R A J Soedjasmin dan Cornel Simanjuntak. Lihatlah penulisan piano pada lagu seriosa O, Angin-nya Simanjuntak atas sajak Sanusi Pane atau Tuhanku, Apakah Kekal-nya Soedjasmin atas puisi Amir Hamzah yang sebagian besar berupa akord jreng-jreng-jreng tanpa pengolahan, tanpa pengembangan, tanpa watak. Dibandingkan dengan Pasaribu, karya mereka amat sangat naif.

Namun, mengapa Pasaribu tidak lebih dikenal daripada mereka? Waktu itu adalah masa menjamurnya musik vokal berupa nyanyian paduan suara gegap gempita memuja negara (yang katanya digemari Bung Karno) maupun seriosa, yakni komposisi untuk duet vokal dan piano yang diilhami tembang seni (lied, art song) Romantik abad ke-19. Simanjuntak dan Soedjasmin sendiri aktif di bidang nyanyi dan paduan suara, sedangkan Pasaribu tidak ("bahkan di kamar mandi juga saya tidak menyanyi"). Lebih-lebih lagi karena sebagian besar komposisi Pasaribu adalah untuk instrumen, tidak heran namanya nyaris tak terdengar.

Musiknya, yang kebanyakan untuk piano, praktis hanya beredar turun-temurun di kalangan pianis untuk bahan ujian. Pemusik Indonesia yang menyempatkan diri menyisipkan Pasaribu (beserta komponis Indonesia lainnya seperti Mochtar Embut dan Trisutji Kamal) di pertunjukan-pertunjukan internasional mungkin hanya Ananda Sukarlan yang kini bermukim di Spanyol. Ia bahkan sudah lama berunding dengan perusahaan-perusahaan rekaman untuk merekam karya-karya mereka, tetapi belum berhasil karena pertimbangan komersial, padahal dalam penampilan-penampilan di berbagai negara Eropa penyajian musik mereka disambut baik.

Lebih-lebih lagi, pria kelahiran Siborongborong, Sumatera Utara, tahun 1915 ini pernah lama tidak bermukim di Indonesia, dan ia sendiri tidak terlalu suka diketahui riwayat hidupnya. Ketika J B Kristanto dan Ben M Pasaribu (komponis, masih saudara) mewawancarainya untuk Kompas pada tahun 1996, ia mengungkapkan ketidaksenangannya pada sebuah ulasan terhadap komposisi pianonya Variasi Sriwijaya, yang menurutnya membicarakan dirinya dan bukan musiknya. Kepada Erita Sitorus, dosen piano Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, yang sedang menyelesaikan tesis pascasarjananya tentang karya piano Pasaribu di Universitas Gadjah Mada, ia juga mengatakan hal senada.

Maka, tidak heran ketika ia diumumkan mendapat penghargaan negara, pers bingung memberi predikat sehingga dalam pelbagai laporan ia pun dinobatkan sebagai pencipta lagu mars, atau bahkan penyanyi lagu-lagu perjuangan (Suara Merdeka)! Tidak heran ketika saya membaca tentang dia di harian Kompas di Gedung Arsip Jakarta, seorang pegawai nyeletuk bahwa sekarang bintang penghargaan diobral terlalu murah.

Tidak heran Dieter Mack dari Hochschule fuer Musik Freiburg, komponis, dosen, dan pengamat musik kontemporer Indonesia dalam Sejarah Musik IV mengatakan bahwa kebanyakan partitur Pasaribu tidak beredar sehingga sulit untuk mengomentari musiknya, lalu hanya membahas satu aransemen sederhana dari buku Lagu-lagu Lama Solo Piano dan mengecapnya kurang tepat ditinjau dari segi gramatik musik Barat. (Saya tidak tahu alasan sebenarnya mengapa Pasaribu tidak dibahas secara lebih berbobot, tetapi karya Pasaribu jelas amat beredar setidaknya di kalangan pianis, lebih daripada karya Slamet Abdul Sjukur yang dibahasnya panjang lebar di buku yang sama!).

Tidak heran banyak yang belum mengetahui kiprahnya pada dekade tahun 1950-an sebagai salah satu pemikir dan pelaku musik yang paling aktif dan all-round, yang juga menyumbangkan pemikirannya bagi gagasan tentang kebudayaan Indonesia pasca-Kemerdekaan. Selain Direktur Sekolah Menengah Musik Yogyakarta ia juga redaktur majalah kebudayaan Indonesia. Resensi-resensi musiknya dimuat di Zenith, majalah sastra, seni, dan filsafat yang anggota redaksinya antara lain H B Jassin, dan Rivai Apin. Zenith ini jugalah yang menjadi sarana penerbitan sebagian besar komposisi-komposisinya, yang hadir di situ bersama karya-karya orang lain.

Sebagai kritikus, Pasaribu punya bahasa yang hidup dan tidak bertedeng aling-aling. Dalam suatu resensi pertunjukan di Zenith, misalnya, ia mencela kelumpuhan pimpinan pusat RRI (yang) tak mampu mengendalikan Orkes Radio Djakarta hingga bisa lengkap. ... "Trompet sadja hanja satu, flut satu.... Masakan instansi pemerintah tak mampu untuk mengendalikan orkes begini sadja dengan sempurna? Keterlaluan!"

Namun, namanya pun surut setelah ia pindah ke Suriname sejak pertengahan tahun 1960-an, ia bekerja antara lain sebagai dirigen orkes filharmoni di Paramaribo serta-setelah Suriname merdeka pada tahun 1975,penerjemah dan penulis pidato untuk Kedutaan Besar Indonesia, dan berhenti membuat komposisi. Setelah tiga puluh tahun menetap di sana, akhirnya pulanglah ia ke Indonesia dan mempunyai rumah di Medan sampai sekarang.

Obral bintang-untuk seniman musik apalagi-ada perlunya juga untuk mengingatkan masyarakat, namun di tangan masyarakatlah sekarang keputusan untuk berupaya menghargai kembali Amir Pasaribu dan mempertunjukkan karyanya yang rata-rata imajinatif, tidak sulit dimainkan, dan enak didengar itu.

Yohanes Bintang Prakarsa Kritikus musik